Sesuai
dengan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008), lahan gambut yang
dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada gambut dangkal (<
100 cm). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan
relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan
gambut dalam. Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai marjinal
(kelas kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas
utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung
pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain padi,
jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.
b. Pengelolaan air
Budidaya
tanaman pangan di lahan gambut harus menerapkan teknologi pengelolaan air, yang
disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman. Pembuatan saluran
drainase mikro sedalam 10 - 50 cm diperlukan untuk pertumbuhan berbagai jenis
tanaman pangan pada lahan gambut. Tanaman padi sawah pada lahan gambut hanya
memerlukan parit sedalam 10-30 cm. Fungsi drainase adalah untuk membuang
kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman,
dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak antar
parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi. Walaupun drainase penting
untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin dalam saluran drainase akan semakin
cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut.
c. Pengelolaan kesuburan tanah
Tanah gambut
bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya ameliorasi untuk meningkatkan
pH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk
kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk
meningkatkan pH dan basa-basa tanah.
Tidak
seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5 karena
gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH sampai tidak
lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk
asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahanbahan
amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja, tanah
mineral laterit atau lumpur sungai. Pemberian tanah mineral berkadar besi
tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi.
Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat
rendah. Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg.
Walaupun KTK gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation yang
dapat dipertukarkan sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application)
dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan pupuk yang
tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan dengan
SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan pH
tanah.
Penambahan
kation polivalen seperti Fe dan Al akan menciptakan tapak jerapan bagi ion
fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan hara P melalui pencucian. Tanah gambut
juga kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan organik. Oleh
karenanya diperlukan pemupukan unsur mikro seperti terusi, magnesium sulfat dan
seng sulfat masing-masing 15 kg ha-1 tahun-1, mangan sulfat 7 kg ha-1 tahun-1,
sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kg ha-1 tahun-1. Kekurangan unsur
mikro dapat menyebabkan kehampaan pada tanaman padi, tongkol kosong pada jagung
atau polong hampa pada kacang tanah.
b. Strategi petani dalam meningkatkan kesuburan tanah gambut
Karena keterbatasan akses dan
kemampuan untuk mendapatkan pupuk dan bahan amelioran, maka untuk meningkatkan
kesuburan tanah, petani membakar seresah tanaman dan sebagian lapisan gambut
kering sebelum bertanam. Praktek ini dapat ditemukan di kalangan petani yang menanam
sayuran dan tanaman pangan secara tradisional di berbagai tempat di Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi. Dengan cara ini petani
mendapatkan amelioran berupa abu yang dapat memperbaiki produktivitas gambut.
Namun abu hasil pembakaran mudah hanyut dan efektivitasnya terhadap peningkatan
kesuburan tanah tidak berlangsung lama. Lagi pula cara ini sangat berbahaya
karena bisa memicu kebakaran hutan dan lahan secara lebih luas, mempercepat
subsiden, meningkatkan emisi CO2 dan mendatangkan asap yang mengganggu
kesehatan serta mempengaruhi lalu lintas. Untuk menghindari kebakaran, maka
pembakaran serasah harus dilakukan secara terkendali di satu tempat khusus
berupa lubang yang dilapisi dengan tanah mineral sehingga api tidak sampai
membakar gambut. Cara ini diterapkan dengan baik di lahan gambut di Pontianak,
Kalimantan Barat. Bila pembakaran serasah harus dilakukan langsung di lapangan,
maka harus dipastikan bahwa gambut di bawahnya jenuh air supaya gambutnya tidak
ikut terbakar. Dalam jangka panjang pembakaran serasah dan gambut perlu dicegah
untuk menjaga keberlangsungan pertanian di lahan gambut. Untuk itu diperlukan
bimbingan cara bertani tanpa bakar dan pemberian bantuan amelioran serta pupuk
bagi petani.
73
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT SECARA BERKELANJUTAN
IG. M. Subiksa, Wiwik Hartatik, dan Fahmuddin Agus
Lahan gambut tropis memiliki keragaman sifat fisik dan kimia
yang
besar, baik secara spasial maupun vertikal. Karakteristiknya
sangat ditentukan
oleh ketebalan gambut, substratum atau tanah mineral dibawah
gambut,
kematangan, dan ada tidaknya pengayaan dari luapan sungai
disekitarnya.
Karakteristik lahan seyogianya dijadikan acuan arah pemanfaatan
lahan
gambut untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan.
Sesuai
dengan Keppres No. 32/1990 gambut dengan ketebalan >3 m
diperuntukkan
kawasan konservasi. Hal ini disebabkan makin tebal lapisan
gambut, maka
gambut tersebut semakin rapuh (fragile). Dengan
mempertahankannya sebagai
kawasan konservasi, maka fungsinya sebagai penyangga hidrologi
tetap
terjaga. Gambut dengan kedalaman < 3 m dapat dimanfaatkan
untuk pertanian
dengan syarat lapisan mineral dibawah gambut bukan pasir kuarsa
atau liat
berpirit, dan tingkat kematangan bukan fibrik. Lebih lanjut Departemen
Pertanian merekomendasikan untuk tanaman pangan dan hortikultura
diarahkan pada gambut dangkal (< 100 cm), dan untuk tanaman
tahunan pada
gambut dengan ketebalan 2–3 m (Sabiham et al., 2008). Dasar
pertimbangannya adalah, gambut dangkal memiliki tingkat
kesuburan relatif
lebih tinggi dan risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan
gambut dalam.
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian sudah dilakukan sejak
lama
dan menjadi sumber kehidupan keluarga tani. Namun harus disadari
bahwa
pemanfaatan lahan gambut memiliki risiko lingkungan, karena
gambut sangat
rentan mengalami degradasi. Degradasi lahan gambut bisa terjadi
bila pengelolaan
lahan tidak dilakukan dengan baik, sehingga laju dekomposisi
terlalu besar dan
atau terjadi kebakaran lahan yang menyebabkan emisi GRK besar.
Meniadakan
emisi GRK dalam pemanfaatan lahan gambut adalah mustahil, karena
proses
dekomposisi adalah proses alamiah yang juga diperlukan dalam
penyediaan hara
bagi tanaman. Konsep pengelolaan lahan gambut berkelanjutan
harus dilakukan
dengan meningkatkan produktivitas secara maksimal dan menekan
tingkat emisi
yang ditimbulkan seminimal mungkin.
Peningkatan produktivitas lahan
Umumnya lahan gambut tergolong sesuai marjinal untuk berbagai
jenis
tanaman pangan dengan faktor pembatas utama kondisi media
perakaran 74
tanaman yang kurang kondusif bagi perkembangan akar. Beberapa
faktor
pembatas yang dominan adalah kondisi lahan yang jenuh air,
bereaksi masam
dan mengandung asam organik yang beracun serta status unsur hara
rendah.
Upaya meningkatkan produktivitas lahan gambut, dapat dilakukan
dengan
menerapkan teknologi pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan
serta
pemilihan komoditas yang tepat.
Pengelolaan air
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan harus
dimulai
dari perencanaan penataan lahan yang disesuaikan dengan
karakteristik lahan
gambut setempat, dan komoditas yang akan dikembangkan. Penataan
lahan
meliputi aktivitas mengatur jaringan saluran drainase, perataan
tanah (leveling),
pembersihan tunggul, pembuatan surjan, guludan, dan pembuatan
drainase
dangkal intensif. Dimensi dan kerapatan jaringan drainase
disesuaikan dengan
komoditas yang dikembangkan apakah untuk tanaman pangan,
sayuran,
perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI). Perataan tanah
penting jika
akan dikembangkan tanaman pangan dan sayuran. Pembersihan
tunggul juga
sangat membantu meningkatkan produktivitas, karena keberadaan
tunggul
akan membatasi area yang bisa ditanami dan menjadi sarang hama.
Pembuatan surjan hanya mungkin dilakukan pada gambut dangkal dan
lahan
bergambut. Guludan dan drainase dangkal intensif diperlukan jika
dikembangkan tanaman sayuran dan buah-buahan.
Dalam kondisi alami, lahan gambut selalu dalam keadaan jenuh air
(anaerob), sementara itu sebagian besar tanaman memerlukan kondisi
yang
aerob. Oleh karenanya, langkah pertama dalam reklamasi lahan
gambut untuk
pertanian adalah pembuatan saluran drainase untuk menurunkan
permukaan
air tanah, menciptakan kondisi aerob di zona perakaran tanaman,
dan
mengurangi konsentrasi asam-asam organik. Namun demikian, gambut
tidak
boleh terlalu kering karena gambut akan mengalami kerusakan dan
menimbulkan emisi GRK yang tinggi. Berbeda dengan tanah mineral,
bagian
aktif dari gambut adalah fase cairnya, sehingga apabila gambut
kering akan
kehilangan fungsinya sebagai tanah dan menjadi bersifat
hidrofobik. 75
Pengembangan kawasan lahan gambut dalam skala luas memerlukan
jaringan saluran drainase yang dilengkapi dengan pintu air untuk
mengendalikan muka air tanah di seluruh kawasan. Dimensi saluran
primer,
sekunder, dan tersier disesuaikan dengan luas kawasan dan jenis
komoditas
yang dikembangkan. Tanaman pangan dan sayuran pada umumnya
memerlukan drainase yang dangkal (sekitar 20 – 30 cm). Tanaman
tahunan
memerlukan saluran drainase dengan kedalaman berbeda-beda.
Tanaman
sagu dan nipah tidak memerlukan drainase, tetapi tetap
memerlukan sirkulasi
Gambar 25. Penataan lahan dan saluran drainase untuk sayuran
(atas) dan untuk
perkebunan (bawah)
Keterangan: guludan dengan dua jenis tanaman sayuran: o = cabai;
+ = kacang 76
air seperti halnya tanaman padi. Tanaman karet memerlukan
saluran drainase
mikro sedalam 20-40 cm, tanaman kelapa dan kelapa sawit
memerlukan
saluran drainase sedalam 50-70 cm (Agus dan Subiksa, 2008).
Pembuatan saluran drainase di lahan gambut akan diikuti oleh
peristiwa
penurunan permukaan lahan (subsiden). Proses ini terjadi karena
pemadatan,
dekomposisi, dan erosi gambut dipermukaan yang kering. Semakin
dalam
saluran drainase, maka subsiden semakin besar dan semakin cepat.
Penurunan
permukaan gambut dengan mudah dapat diamati dengan munculnya
akar
tanaman tahunan di permukaan tanah. Untuk mengurangi dampak
penurunan
tanah terhadap perkembangan tanaman, sebaiknya penanaman tanaman
tahunan ditunda sampai sampai satu tahun setelah pembukaan
saluran. Hal ini
dilakukan untuk menghindari tanaman roboh karena daya sangga
gambut yang
rendah.
Pemilihan komoditas yang sesuai
Pemilihan komoditas yang mampu beradaptasi baik dilahan gambut
sangat penting untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang
tinggi.
Pemilihan komoditas disesuaikan dengan daya adaptasi tanaman,
nilai
ekonomi, kemampuan modal, keterampilan, dan skala usaha. Jenis
tanaman
sayuran (selada, kucai, kangkung, bayam, cabai, tomat, terong,
dan paria) dan
buah-buahan (pepaya, nanas, semangka, melon) adalah tanaman yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan beradaptasi sangat baik di
lahan gambut.
Sebagai contoh petani sayuran di daerah Siantan Kalimantan Barat
sukses
Gambar 26. Pintu air yang berfungsi sebagai canal blocking untuk
menjaga
muka air tanah tetap stabil pada kisaran yang dikehendaki 77
mengembangkan tanaman sayuran dengan tingkat keuntungan yang
tinggi.
Seorang petani dengan lahan 0,5 ha bisa panen kucai 200 kg per
hari terusmenerus
dan dijual dengan harga Rp3.000 – Rp 8.000kg-1. Untuk skala
luas,
pemilihan komoditas perkebunan seperti kelapa sawit sangat
menguntungkan
karena pasarnya yang besar dan produk turunannya sangat beragam.
Pengembangan untuk tanaman pangan lebih banyak ditujukan untuk
keamanan pangan seperti jagung untuk gambut yang kering dan padi
untuk
gambut dangkal dan basah.
Ameliorasi lahan
Lahan gambut bersifat sangat masam karena kadar asam-asam
organik
sangat tinggi dari hasil pelapukan bahan organik. Sebagian dari
asam-asam
organik tersebut, khususnya golongan asam fenolat, bersifat
racun dan
Gambar 27. Tanaman sayuran (kiri) dan buah-buahan (kanan) tumbuh
baik di
lahan gambut
Gambar 28. Kelapa sawit (kiri) dan Akasia (kanan) di lahan
gambut Riau 78
menghambat perkembangan akar tanaman, sehingga pertumbuhan
tanaman
sangat terganggu. Ameliorasi diperlukan untuk mengatasi kendala
reaksi tanah
masam dan keberadaan asam organik beracun, sehingga media
perakaran
tanaman menjadi lebih baik. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang
dan abu sisa
pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk
meningkatkan pH
dan basa-basa tanah (Subiksa et al., 1997; Mario, 2002;
Salampak, 1999).
Namun tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup
ditingkatkan
sampai pH 5,0 karena gambut tidak memiliki potensi Al yang
beracun.
Peningkatan pH terlalu tinggi justru berdampak buruk karena laju
dekomposisi
gambut menjadi terlalu cepat.
Amelioran alami yang mengandung kation polivalen (Fe, Al, Cu,
dan Zn)
seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai
sangat efektif
mengurangi dampak buruk asam fenolat (Salampak, 1999; Sabiham et
al.,
1997). Penambahan kation polivalen seperti Fe dan Al akan
menciptakan tapak
jerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan hara
P melalui
pencucian (Rachim, 1995). Pemberian tanah mineral berkadar besi
tinggi dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario, 2002;
Salampak, 1999; Suastika, 2004; Subiksa et al., 1997). Formula
amelioran dan
pupuk gambut (Pugam) yang dikembangkan Balittanah juga efektif
meningkatkan produktivitas lahan. Pugam juga mengandung kation
polivalen
dengan konsentrasi tinggi, sehingga takaran amelioran yang
diperlukan tidak
terlalu besar yaitu hanya 750 kgha-1 (Subiksa et al., 2009).
Gambar 29. Reaksi kimia pembentukan khelat dan netralisasi asam
fenolat
beracun 79
Pemupukan
Pemupukan diperlukan karena secara inheren tanah gambut sangat
miskin mineral dan hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk
yang diperlukan
adalah pupuk lengkap terutama yang mengandung N, P, K, Ca, Mg
dan unsur
mikro Cu, Zn dan B. Pemupukan harus dilakukan secara bertahap
dan
dengantakaran rendah karena daya pegang (sorption power) hara
tanah gambut
rendah sehingga pupuk mudah tercuci. Penggunaan pupuk lepas
lambat (slow
release) seperti fosfat alam dan Pugam lebih baik dibandingkan
dengan SP-36,
karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan
pH tanah
(Subiksa et al., 1991). Pugam dengan kandungan hara utama P,
juga tergolong
pupuk lepas lambat yang mampu meningkatkan serapan hara,
mengurangi
pencucian hara P, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman sangat
signifikan
dibandingkan SP-36.
Tanah gambut juga diketahui kahat unsur mikro karena dikhelat
(diikat)
oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan
pemupukan
unsur mikro seperti terusi, dan seng sulfat masing-masing 15
kgha-1tahun-1,
mangan sulfat 7 kgha-1, sodium molibdat dan borax masing-masing
0,5 kgha-
1
tahun-1. Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan bunga jantan
steril
sehingga terjadi kehampaan pada tanaman padi, tongkol kosong
pada jagung
atau polong hampa pada kacang tanah. Pugam sebagai amelioran dan
pupuk,
juga mengandung unsur mikro yang diperlukan tanaman, sehingga
pemupukan
unsur mikro tambahan tidak diperlukan lagi.
Pengurangan Emisi GRK
Lahan gambut dikenal merupakan sumber emisi gas rumah kaca (GRK)
terbesar dari sektor pertanian dan kehutanan karena menyimpan
cadangan
karbon sangat besar yaitu 550 Gt CO2e, setara dengan 75% karbon
di atmosfer
atau setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di
seluruh dunia
(Joosten, 2007). Lahan gambut terbentuk dari akumulasi bahan
organik yang
mudah mengalami dekomposisi apabila ada perubahan kondisi
lingkungan
menjadi aerob. Proses dekomposisi bahan organik akan
menghasilkan asamasam
organik, gas CO2 dan gas methan (gas rumah kaca).
Faktor pendorong terjadinya emisi GRK yang berlebihan di lahan
gambut antara lain adalah kebakaran lahan, pembuatan saluran
drainase dan
pengelolaan lahan. Kebakaran lahan bisa terjadi saat pembukaan
hutan
gambut, persiapan lahan sebelum musim tanam atau musim kemarau
ekstrim. 80
Kebakaran yang terjadi pada waktu pembukaan hutan dan persiapan
lahan
seringkali terjadi karena kesengajaan, sedangkan kebakaran di
saat tanaman
sudah ditanam bisa terjadi karena keadaan kemarau panjang atau
karena
kecelakaan. Kasus di Kalimantan Barat, berdasarkan wawancara
dengan
petani, pembakaran lahan sebelum musim tanam bisa menghabiskan 3
– 5 cm
lapisan gambut (Subiksa et al, 2009). Hal ini dilakukan petani
untuk
mendapatkan abu yang memperbaiki pH dan kejenuhan basa tanah.
Untuk Indonesia, hasil perhitungan Wahyunto et al. (2004), total
stock
karbon dari seluruh lahan gambut di Indonesia sekitar 37 Gt.
Tergantung
ketebalan gambut, simpanan karbon gambut bisa 10 kali lebih
tinggi
dibandingkan dengan simpanan karbon tanah mineral (Tabel 5).
Mempertahankan karbon dalam tanah dan tanaman menjadi isu
lingkungan
sangat penting karena konsentrasi karbon di udara berpengaruh
terhadap
pemanasan global.
Pengendalian muka air tanah
Lahan gambut memiliki daya hantar hidrolik yang tinggi, baik
secara
vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, saluran drainase
sangat menentukan
kondisi muka air tanah. Kunci pengendalian muka air tanah adalah
mengatur
dimensi saluran drainase, terutama kedalamannya, dan mengatur
pintu air.
Menurunkan muka air tanah sangat diperlukan untuk menjaga
kondisi media
perakaran tetap dalam kondisi aerob. Namun penurunan yang
terlalu besar
menyebabkan gambut mengalami kerusakan. Oleh karena muka air
tanah harus
dikendalikan agar akar tanaman cukup mendapatkan oksigen, tetapi
gambut
tetap lembap untuk menghindari emisi yang besar dan gambut
mengering.
Pengendalian air dengan mengatur tinggi air di saluran drainase
dengan
mengatur pintu air adalah salah satu tindakan mitigasi emisi CO2
yang terjadi.
Hasil penelitian Wosten dalam Hooijer et al., (2006) menunjukkan
bahwa laju emisi berbanding lurus dengan kedalaman saluran
drainase. Rieley
dan Page (2005) menunjukkan hubungan linier antara kedalaman
muka air
tanah dengan emisi karbon bersifat spesifik lokasi (Gambar 30).
Agus et al.
(2009) menunjukkan bahwa laju emisi meningkat dengan pola
logaritmik
dengan makin meningkatnya kedalaman muka air tanah. Oleh karena
mengatur
muka air tanah pada tingkat yang aman untuk tanaman dan minimal
emisinya
merupakan tindakan mitigasi kerusakan lahan yang sangat efektif.
81
Rumbang dalam Noor (2010) mengemukakan hubungan antara
penggunaan jenis tanaman dengan emisi (Gambar 30). Hal ini tentu
berkaitan
dengan kedalaman air tanah yang dibutuhkan oleh masing-masing
jenis
tanaman. Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air
lahan gambut
adalah bangunan pengendali berupa pintu air atau canal blocking
di setiap
saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah,
disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman. Mengingat gambut memiliki daya hantar
hidrolik yang tinggi,
maka dalam satu saluran diperlukan beberapa pintu canal blocking
membentuk
cascade.
Kasus lahan gambut yang sudah dibuka untuk transmigrasi di
berbagai
daerah, menunjukkan bahwa jaringan saluran drainase tidak terawat
dengan baik
sehingga saluran menjadi sangat dangkal dan tertutup rumput.
Pintu air dengan
cepat mengalami kerusakan karena sistem pemasangan kurang baik,
sehingga air
mengalir melalui pinggir pintu air. Oleh karena itu, perlu
digalakkan program
rehabilitasi lahan, pembuatan saluran, pintu air, dan canal
blocking di lahan
gambut untuk menghindari perubahan kondisi lahan yang drastis,
seperti
pengeringan. Pintu air harus berfungsi secara optimal agar
permukaan air tanah
stabil.
Kompleksasi
Emisi GRK adalah hasil dari proses dekomposisi gambut menjadi
senyawa karbon dengan rantai pendek. Proses dekomposisi lebih
lanjut dapat
ditekan dengan proses kompleksasi senyawa organik sederhana
menjadi
senyawa kompleks. Kompleksasi dapat dilakukan dengan menambahkan
bahanbahan
amelioran yang kaya dengan kation polivalen. Kation polivalen
memiliki
0.54
0.76 0.69
0.19
0.72
1.14 1.18
0.40
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
Aloe vera Kelapa sawit Karet Jagung
Water Table (m)
Emisi CO2 (g CO2.m-2.h-1)
0
20
40
60
80
100
30 50 70 90
Jeluk muka air tanah (cm)
CO2 (t.ha-1.th-1)
Netherland
Indiana
Florida
Malaysia
Gambar 30. Hubungan antara muka air tanah dengan tingkat emisi
CO2 untuk
berbagai penggunaan lahan (Rumbang, dalam Noor, 2010) dan
tempat (Rieley dan Page, 2005) 82
Emisi CO2
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
Pugam A Pugam Q Pugam R Pugam D Pugam T Kontrol P. kontrol
Perlakuan
Emisi CO2 (mg/m2/menit)
energi afinitas yang tinggi terhadap gugus fungsional bahan
organik membentuk
jembatan kation yang merangkai senyawa organik. Senyawa kompleks
yang
terbentuk sangat tahan terhadap dekomposisi sehingga emisi
karbon bisa
ditekan. Pemberian amelioran gambut 5-10 t ha-1 (sekitar 5-10 m3
) tanah liat
halus yang kaya besi (tanah laterit) untuk tanah pertanian dan
perkebunan di
lahan gambut, diharapkan dapat mengurangi emisi CO2 kumulatif
sebanyak 15,5
± 5,5% dibandingkan dengan tanpa pemberian amelioran.
Bila program ameliorasi dilengkapi dengan penyediaan pupuk untuk
menggantikan teknik pembakaran tradisional, diharapkan dapat
mengurangi
emisi sebesar 19±7%. Hasil ini masih bisa ditingkatkan dengan
menggunakan
pupuk Pugam yang rendah emisi. Hasil penelitian Subiksa et al.
(2009)
menunjukkan bahwa pemupukan dengan pupuk Pugam mampu menurunkan
emisi GRK hingga 47% dan meningkatkan produksi biomassa lebih
dari 30 kali
lipat (Gambar 31). Hasil penelitian Salampak (1999); Mario
(2002); Hartatik
(2003) menunjukkan bahwa penambahan senyawa berkadar besi tinggi
mampu
menekan pengaruh buruk asam-asam fenolat yang beracun sehingga
pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik.
Kation besi (Fe3
+
) menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat yang
disebabkan adanya proses kompleksasi. Kation besi dari bahan
amelioran
sebagai jembatan kation bisa mengikat 2 atau lebih asam fenolat
monomer.
Asam-asam fenolat berperan sebagai penyumbang pasangan elektron
(donor),
sedangkan kation Fe berperan sebagai penerima elektron
(acceptor) (Tan,
1993). Senyawa kompleks yang terbentuk menjadi lebih stabil dan
tidak
Kontrol NPK-konv.
Gambar 31. Pemupukan dengan pupuk khusus lahan gambut Pugam
mengurangi laju emisi CO2 (kiri) dan meningkatkan
pertumbuhan tanaman (kanan) 83
beracun bagi tanaman. Proses kompleksasi mampu memecahkan
beberapa
permasalahan yang dihadapi dalam usahatani di lahan gambut yaitu
(1)
mengurangi emisi GRK karena stabilitas gambut meningkat; (2)
menetralisir
asam-asam fenolat beracun sehingga perkembangan akar tanaman
tidak
terganggu; dan (3) mengurangi pencucian hara karena adanya tapak
jerapan
positif yang terbentuk dari kation polivalen.
Dalam rangka mitigasi emisi CO2 secara masal, sangat penting
untuk
memberlakukan kebijakan subsidi pupuk dan amelioran yang mampu
menekan
emisi GRK,sehingga petani tidak membakar serasah di lahan
gambut.
Kebijakan melarang penggunaan lahan gambut secara total kurang
tepat,
karena masyarakat di lahan gambut memiliki ketergantungan tinggi
terhadap
lahan gambut. Di beberapa tempat, petani berhasil menjadikan
lahan gambut
sebagai sumber pendapatan utama secara turun temurun.
Persiapan lahan tanpa bakar
Emisi karbon paling masif terjadi saat kebakaran gambut, baik
karena
kesengajaan maupun tidak sengaja. Penyiapan lahan dengan sistem
membakar menyebabkan hilangnya cadangan karbon, terjadi
subsiden, dan
pada akhirnya mengarah pada habisnya lapisan gambut. Penelitian
Subiksa et
al. (2009) menunjukkan bahwa petani di Kalimantan Barat selalu
melakukan
pembakaran lahan sebelum menanam tanaman pangan, khususnya
jagung.
Setiap musim, lapisan gambut terbakar sekitar 3-5 cm.Dari gambut
yang
terbakar selama 2 kali tanam per tahun dapat diperkirakan
besarnya emisi
karbon yaitu sekitar 110,1 t CO2ha-1tahun-1 (dengan asumsi
karbon density
gambut sekitar 50 kgm-3 atau 0.05 tm-3).
Gambar 32. Persiapan lahan dengan membakar, sumber emisi CO2
yang besar 84
Adanya pembakaran lahan dan hutan di suatu daerah dapat dipantau
dari data hot spot (titik api)yang dihasilkan dari interpretasi
citra satelit. Jumlah
titik api yang dipantau di beberapa daerah rawan kebakaran
lahan,
menunjukkan bahwa antara bulan Januari – Mei 2010, Provinsi Riau
dan
Kalimantan Timur memiliki titik api paling banyak, dan puncaknya
terjadipada
bulan Februari - Maret. Hal ini menunjukkan aktivitas pembakaran
untuk
pembukaan lahan masih menjadi pilihan masyarakat. Kebiasaan
masyarakat ini
harus diubah dengan terus-menerus melakukan sosialisasi
pembukaan lahan
tanpa bakar (PLTB), serta penerapan peraturan
perundang-undangan.
Pelatihan dan sosialisasi harus disertai dengan pengenalan
alternatif lain dalam
pembukaan lahan. Selain itu fasilitas pemantauan dan
pengendalian kebakaran
lahan harus disediakan di daerah rawan kebakaran.
Pembakaran lahan, baik yang disengaja maupun tidak, menyebabkan
hilangnya cadangan karbon sehingga lapisan gambut semakin tipis
bahkan
habis. Bila lapisan substratum merupakan lapisan mineral
berpirit atau pasir
kuarsa maka akan terjadi kemerosotan kesuburan tanah. Membakar
gambut
terkadang sengaja dilakukan petani untuk memperoleh abu yang
untuk
sementara bisa memperbaiki kesuburan tanah. Abu sisa pembakaran
memberikan efek ameliorasi dengan meningkatnya pH dan kandungan
basabasa
tanah, sehingga tanaman tumbuh lebih baik (Subiksa et al.,
1998).Proses
ini harus dihindari dengan mempertahankan kelembapan gambut agar
tidak
mudah terbakar dan menerapkan sistem pengelolaan zero burning.
Pembakaran serasah tanaman secara terkendali di rumah abu
(tempat
pembakaran serasah) adalah salah satu usaha mencegah kebakaran
gambut
meluas. Tempat khusus ini berupa lubang yang dilapisi dengan
tanah mineral
sehingga api tidak sampai membakar gambut. Cara ini diterapkan
dengan
sangat baik oleh petani sayur di lahan gambut Pontianak,
Kalimantan Barat.
Bila pembakaran serasah harus dilakukan langsung di lapangan,
maka harus
dipastikan bahwa gambut dibawahnya jenuh air supaya gambutnya
tidak ikut
terbakar.
Pengalihan dari cara tradisional dengan cara membakar kepada
metode
tanpa membakar, diperlukan cara alternatif lain yang bisa
diterima masyarakat.
Pembukaan lahan menggunakan mulcheratau bio-harvesteradalah
salah satu
alternatif yang baik, namun alatnya masih tergolong mahal. Sementara
untuk
lahan pertanian yang sudah eksis, diperlukan upaya ameliorasi
dan pemupukan
agar pertumbuhan tanaman bisa optimum. Oleh karena itu,
kebijakan subsidi
pupuk dan amelioran untuk petani di lahan gambut penting untuk
dikeluarkan 85
agar kebiasaan membakar yang menghasilkan emisi CO2 tinggi bisa
dihindari.
Ditjen Perkebunan (2010) memprediksibahwa upaya mencegah
pembakaran
lahan dapat mengurangi emisi CO2 sampai 0,284 Gt CO2 atau 25%
dari
proyeksi BAU 2025.
Tanaman penutup tanah
Emisi GRK berkorelasi positif dengan suhu, dimana makin tinggi
suhu
udara dan tanah maka emisi GRK semakin tinggi. Warna gambut yang
gelap
cenderung menyerap suhu, sehingga gambut yang terekspos akan
terasa sangat
panas. Suhu yang panas menyebabkan gambut cepat kering dan rawan
kebakaran. Oleh karena, untuk mengurangi emisi GRK dari lahan
pertanian, maka
tanah gambut harus diusahakan tertutup vegetasi. Menanam tanaman
penutup
tanah, selain mengurangi emisi, juga meningkatkan sekuestrasi
karbon, sehingga
emisi bersih menjadi lebih kecil lagi. Tanaman penutup tanah
sebagai tanaman
sela di perkebunan akan sangat membantu mempertahankan
kelembapan tanah
dan mitigasi kebakaran lahan. Tanaman penutup tanah penghasil
biomassa tinggi
seperti mucuna atau calopogonium sangat dianjurkan karena bisa
meningkatkan
sekuestrasi karbon dan fiksasi N dari udara, sehingga menambah
kesuburan
tanaman pokok. Namun demikian tanaman insitu seperti kalakai
atau pakis
(Stenochiaena palustris) juga bisa dimanfaatkan dengan biaya
murah.
Gambar 33. Tanaman penutup tanah kelakai (Stenochiaena
palustris)untuk
mempertahankan kelembapan tanah gambut 86
Pengaturan pola tanam
Pengurangan emisi CO2 dapat dilakukan dengan mengatur pola
tanam,
khususnya tanaman pangan dan sayuran. Pada prinsipnya pengaturan
pola
tanam di lahan gambut bertujuan mengurangi lamanya waktu tanah
dalam
keadaan terbuka yang memicu terjadinya emisi. Relay planting
adalah salah
satu contoh penerapan pola tanam yang memungkinkan tanah gambut
tidak
terbuka saat penggantian tanaman berikutnya. Menanam tanaman
sela
diantara tanaman pokok (tahunan) dapat mengurangi emisi
sekaligus
meningkatkan sekuestrasi karbon.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk
pertanian
dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World
Agroforestry
Centre (ICRAFT) Bogor, Indonesia.
Ditjen Perkebunan. 2010. Arah dan strategi pengembangan
perkebunan rakyat
menghadapi fenomena iklim. Paper disampaikan pada Rapat Kerja
Balai Besar Litbang Sumber daya Lahan Pertanian (BB SDLP),
Semarang, 2010.
Hartatik, W., 2003. Pemanfaatan Beberapa Jenis fosfat alam dan
SP-36 pada
Tanah Gambut yang Diberi Bahan Amelioran Tanah Mineral dalam
Kaitannya dengan Pertumbuhan Tanaman Padi. Disertasi. Institut
Pertanian Bogor
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006.
PEAT-CO2,
Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE
Asia.Delft
Hydraulics report Q3943 (2006).
Joosten, H. 2007. Peatland and carbon. pp. 99-117 InParish, F.,
Siri, A.,
Chapman, D., Joosten H., Minayeva, T., and Silvius M. (Eds.)
Assessment on Peatland, Biodiversity and Climate Change.Global
Environmental Centre, Kuala Lumpur and Wetand International,
Wageningen.
Mario, M.D. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah
Gambut
dengan Pemberian Tanah Mineral yang Diperkaya oleh Bahan
Berkadar
Besi Tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. 87
Noor, M., 2010.Hubungan nilai emisi gas rumah kaca dengan
teknologi
pengelolaan lahan gambut.Makalah Seminar Workshop Pelaksanaan
Perhitungan dan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada Lahan
Gambut, 4 Mei 2010 di Kementerian Lingkungan Hidup R.I.,
Jakarta.
Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-kation Polivalen dalam
Kaitannya
dengan Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung
pada
Tanah Gambut. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Rieley, J.O dan S.E. Page. 2005. Wise Use of Tropical Peatlands:
Focus on Southeast
Asia. Nottingham, UK. 168 p.
Sabiham, S., TB. Prasetyo, dan S. Dohong. 1997. Phenolic acid in
Indonesian
peat. pp. 289-292.In Rieley and Page (Eds). Biodiversity and
Sustainability of Tropical Peat and Peatland. Samara Publishing
Ltd.
Cardigan. UK.
Sabiham, S., Wahyunto, Nugroho, Subiksa dan Sukarman, 2008.
Laporan
Tahunan 2008. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian, Bogor.
Salampak, 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang
Disawahkan
dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi
Tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Suastika, I W. 2004.Efektivitas Amelioran Tanah Mineral Berpirit
yang Telah
Diturunkan Kadar Sulfatnya pada Peningkatan Produktivitas Tanah
Gambut. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Subiksa, IGM., Didi Ardi dan IPG. Widjaja Adhi, 1991.
Pembandingan pengaruh
P-alam dan TSP pada tanah sulfat masam (Typic Sulfaquent) Karang
Agung Ulu Sumatera Selatan.DalamProsiding Pertemuan Pembahasan
Hasil Penelitian Tanah, Cipayung 3-5 Juni 1991.
Subiksa, IGM., Sulaeman, dan IPG. Widjaja-Adhi. 1998.
Pembandingan
pengaruh bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas lahan
gambut. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi
Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.Bogor, 10-12 Februari
1998.
Subiksa, IGM., K. Nugroho, Sholeh, and IPG. Widjaja Adhi, 1997.
The effect of
ameliorants on the chemical properties and productivity of peat
soil.pp:321-326. In Rieley and Page (Eds.). Biodiversity and
Sustainability of Tropical Peatlands.Samara Publishing Limited,
UK. 88
Subiksa, IGM., Ai Dariah dan F. Agus. 2009. Sistem Pengelolaan
Lahan
Eksisting di Kalimantan Barat serta Implikasinya terhadap Siak
Kimia
Tanah Gambut dan Emisi GRK. Laporan Penelitian Kerjasama Balai
Penelitian tanah dengan Kementrian Ristek.
Subiksa, IGM., Husein Suganda dan Joko Purnomo. 2009. Pengembangan
Formula Pupuk untuk Lahan Gambut sebagai Penyedia Hara dan
Menekan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja
Sama antara balai Penelitian tanah dengan Departemen Pendidikan
Nasional, 2009.
Tan, K. H., 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker,
Inc. New York.
362pp.
Wahyunto, Sofyan R., Suparto, dan H. Subagyo. 2004. Sebaran dan
kandungan karbon lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan.
Wetland
International Indonesia Programme.
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini dapat dikatakan kondisi pertanian indonesia dalam
keadaan terpuruk. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya Negara ini
mengimport berbagai produk tanaman pangan mulai dari beras, jagung, kedelai dan
lainnya. Pada Oktober 2012 Impor beras mencapai 1,95 juta ton, jagung 2 juta
ton, kedelai 1,9 juta ton, daging sapi setara dengan 900 ribu ekor sapi, gula
3,06 juta ton, dan teh senilai 11 juta dolar AS (kompas, 10/01/13). Melihat
dari data diatas sangat ironi jika dibandingkan dengan kondisi sumberdaya alam
indonesia yang tergolong sangat besar dan subur namun masih banyak melakukan
import. Sebagian orang mengatakan kejadian tersebut karena kuragnya penerapan
teknologi pertanian serta SDM yang kurang mumpuni di indonesia.
Berdasarkan kajian lokasi di indonesia, sebenarnya masih banyak
wilayah di indonesia yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Banyak wilayah
hutan di luar pulai jawa yang masih terbengkalai seperti pada kepulauan
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lain sebagainya. Jika saja pemanfaatan lahan
pertanian tersebut dapat dimaksimalkan dimumngkinkan swasembada pangan dapat
terpenuhi. Namun strategi ini masih memiliki berbagai macam permasalahan antara
lain seperti yang diterbitkan kompas, (08/otk/12) "Persoalannya sebetulnya
bukanlah perlu tidaknya lahan baru. Saat ini sebanyak 52 % (persen) irigasi
teknis kita bermasalah. Akibatnya, indeks pertanaman kita masih rendah,
rata-rata 1,6 % (persen). Artinya, lahan yang ada ini belum
dioptimalkan,"(Ketua Komisi IV DPR Romahurmuziy). Berdasarkan pernyataan
diatas artinya strategi perluasan lahan yang tidak diimbangi dengan dengan
pengaturan utilitas dan peningkatan SDM masih belum bisa digunakan sebagai
solusi peningkatan swasembada pangan.
Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan agro-industri
menuntut peningkatan produksi pertanian yang semakin tinggi setiap tahunnya,
padahal lahan-lahan subur semakin menyusut untuk berbagai keperluan pembangunan
non-pertanian. Dewasa ini diperkirakan 35.000-40.000 ha lahan subur setiap
tahunnya beralih fungsi menjadi wilayah pemukiman, jalan raya, dan industri
(Litbang Pertanian, 1992). Karena itu untuk mengembangkan usaha pertanian perlu
diarahkan kepada lahan-lahan marginal di luar Jawa yang dikaitkan dengan
program transmigrasi dan peningkatan kesempatan kerja. Lahan pasang surut
tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya meliputi areal
seluas 24,8 juta ha, dan sekitar 9 juta ha diantaranya prospektif dikembangkan
untuk pertanian (Litbang Pertanian, 1995). Lahan pasang surut merupakan lahan
marginal dan rapuh yang pemanfaatannya memerlukan perencanaan dan penanganan
yang cermat. Kekeliruan di dalam membuka lahan ini akan membutuhkan investasi
besar dan sulit untuk mengembalikannya seperti keadaan semula. Pada dasarnya
lahan gambut atau lahan pasang surut ini merupakan lahan yang kaya akan bahan
organic sehingga jika pengelolaannya tepat maka dapat dijadikan suatu
alternative pengembangan teknologi pertanian.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
karakteristik tipologi lahan gambaut, lahan pasang surut dan lahan mineral
asam?
2. Bagaimana
pengelolaan tanaman pangan pada lahan gambut, pasang surut dan mineral masam
agar dapat mencapai swasembada pangan?
1.3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Di Indonesia terdapat sekitar 20,1 juta ha lahan pasang surut,
tersebar di 4 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.
Menurut Nedeco Euroconsult (1985), sekitar 5.6 juta ha lahan pasang surut
sesuai untuk dikembangkan untuk lahan pertanian. Dari luasan terseb ut, 2,6
juta ha berpotensi untuk pengembangadna lams kalab esar. Dua juta ha dari lahan
pasang surut di Indonesia tergolong tipologi potensial, 10.0 juta ha tipologi
lahan gambut, 6.7 juta ha lahan sulfat masam dan 0.4 juta ha lahan salin.
Sebaran tipelogi lahan berbeda menurut wilayahnya, dalam arti tiap lokasi dapat
mencakup beberapa tipologi lahan dan tipe luapan (Sabran, 2000).
Berdasarkan ketebalan lapisan gambutnya, lahan gambut terbagi
dalam tiga kategori lahan, yaitu : a) gambut dangkal dengan ketebalan lapisan
gambut 50- 100 cm, b) gambut tengahan dengan ketebalan lapisan gambut 101 - 200
cm dan c) gambut dalam dengan ketebalan lapisan gambut > 2 m. Lahan gambut
dangkal memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian, khususnya
untuk tanaman sayuran. Berdasarkan klasifikasi rawa, tipologi lahan, dan pola
pemanfaatannya, tanaman sayuran dan hortikultura cocok diusahakan pada
klasifikasi rawa lebak dengan tipologi lahan tanah aluvial gambut dangkal
(R/A-G1) dan rawa pasang surut air tawar dengan tipologi lahan gambut dangkal
(G1). Kedua tipologi lahan ini memiliki karakteristik kimia yang berbeda
sehingga untuk memudahkan pengelolaan dalam menentukan jumlah pupuk yang
diberikan, perlu diketahui karakteristik kimia tanahnya (Alwi, 2007).
Lahan potensial yaitu lahan pasang surut yang tanahnya termasuk
tanah sulfat masam potensial dengan lapisan pirit berkadar 2% terletak pada
kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah, sedangkan lahan sulfat masam
adalah lahan yang tanahnya mempunyai lapisan pirit atau sulfidik berkadar >
2% pada kedalaman kurang dari 50 cm. Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi
menjadi : (a) lahan sulfat masam potensial, apabila lapisan piritnya belum
teroksidasi dan (b) lahan sulfat masam aktual, apabila lapisan piritnya sudah
teroksidasi yang dicirikan adanya horizon sulfurik dan pH tanah <3,5
(Jumberi, 2003).
Lahan rawa pasang surut yang luasnya mencapai 20,1 juta ha pada
awalnya merupakan rawa pantai pasang surut di muara sungai besar, yang
dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas laut. Di bagian agak ke pedalaman,
pengaruh sungai besar makin kuat sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air
asin (salin) dan air payau. Adanya proses sedimentasi, kini wilayah tersebut
berwujud sebagai daratan yang merupakan bagian dari delta sungai. Wilayah tersebut
terletak relative agak jauh dari garis pantai sehingga kurang terjangkau secara
langsung oleh air laut waktu pasang. Oleh karena itu, wilayah tersebut saat ini
banyak dipengaruhi oleh aktivitas sungai di samping pasang surut harian dari
laut (Ardi, 2007)
Lahan sulfat masam bila tipe luapannya A atau B, maka akan lebih
efisien dan aman bila dijadikan lahan sawah karena dalam kondisi tergenang air
(anaerob) bahan sulfida atau pirit akan stabil dan dengan demikian masukan yang
diperlukan untuk tanaman akan lebih murah, tetapi bila tipe luapan C/D maka
sebaiknya jangan disawahkan (Suriadikarta, 2008).
Berdasarkan tipe luapan air, padi sawah dapat dibudidayakan pada
lahan bertipe luapan air A, B, atau C yang telah menjadi sawah tadah hujan.
Lahan yang bertipe luapan air A adalah lahan yang selalu terluapi air, baik
pada saat pasang besar maupun kecil. Tipe B hanya terluapi air pada saat pasang
besar saja. Sedangkan lahan tipe C lahan tidak terluapi air pasang, namun air
tanahnya dangkal (Suastika, 1997).
BAB 3. PENGELOLAAN
3.1 Pengolahan Tanaman Pangan Pada Lahan Pasang Surut
Pengelolaan Tanaman Padi
Di indonesia sampai saat ini masih terdapat ±20.1 juta Ha yang
banyak tersebar di kepulauan Sumatra dan Kalimantan. Pada dasarnya jenis-jenis
lahan ini banyak mengandung bahan organic karena cenderung berada pada daerah
gambut. Oleh karena itu, jika pengelolaan yang dilakukan tepat maka tidak
mustahil jika digunakan sebagai solusi peningkatan produksi pangan. Berikut
adalah data wilayah lahan pasang surut di indonesia:
Pengelolaan
pada lahan pasang surut, lahan masam ataupun lahan gambut harus disesuaikan
dengan karakteristik lokasinya, dimana karakteristik tersebut akan menentukan
kesesuaian dengan jenis komoditasnya.
Metode/Cara Budidaya
Pengolahan tanah: tindakan awal yakni dilakukan penggenangan air
5-10cm untuk memisahkan zat beracun dari tanah dan selanjutnya menyalurkannya
keluar. Olah tanah dilakukan dengan kedalaman yang relative dangkal. Hal ini
bertujuan agar pengolahan tersebut tidak sampai pada lapisan pirit yang dapat
meracuni tanaman berkisar 20-25 cm. Tahapan pengolahan tersebut yakni membuang
rumput yang tumbuh dan mengkondisikan lahan macak-macak. Selanjutnya dilakukan
pembuatan saluran “cacing” yakni saluran kecil yang berfungsi sebagai saluran
pembuangan zat beracun yang umumnya juga digunakan sebagai petakan dengan
kedalaman 20cm.
Penanaman : pada umumnya dipilih varietas padi yang berumur
dalam (lama). Penanaman menggunakan sistem jajar legowo untuk memaksimalkan
pertumbuhan tanaman dan berpotensi produksi optimal.selanjutnya untuk proses
perawatan sama dengan pengelolaan tanaman padi pada umumnya. Berdasarkan
penelitian rata-rata hasil padi mencapai4-5ton/ha.
3.2 Pengelolaan Tanaman Pangan Lahan Gambut
Kunci keberhasilan budidaya padi sawah pada lahan gambut terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan
dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor
pembatas, penanganan substansi toksik dan pemupukan unsur makro dan mikro.
Persyaratan lahan yang dapat ditanami tanaman pangan khususnya padi yakni Lahan
gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut dengan (20-50 cm gambut) dan
gambut dangkal (0,5-1 m). jika .1 m maka padi tidak akan menghasilkan malai
karena karena kahat unsur hara mikro Subagyo et al, 1996). andungan bahan
organik tinggi, asam-asam organik menghambat pertumbuhan, terutama akar,
mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan kegagalan panen.
Metode/Cara budidaya
Pengolahan lahan dilakukan dua kali, dimulai dengan pembersihan
lahan dari gulma. Pengolahan pertama, adalah membalik tanah, sedang pengolahan
kedua adalah menghaluskan tanah dan meratakannya. Lahan yang telah dibersihkan
kemudian dibuat petakan sawah. Selanjutnya lahan dibiarkan hingga macak-macak.
Padi yang baik ditanam pada lahan gambut yakni:
Selama masa tanam hingga padi berumur 2mst tidak perlu dilakukan
penggenangan, hal ini karena kadar air pada lahan gambut cukup tinggi sehingga
tidak digenang agar aerasi baik. Pada umum 2mst dilakukan penggenangan setinggi
10 cm dari permukaan tanah. Penyiangan dilakukan dua kali yakni, pertama saat
tanaman berumur 3 mst dan penyiangan kedua saat berumur 5 mst. Selanjutnya
penggenangan dilakukan secara intermitten (berselang) untuk menjaga
keseimbangan aerasi tanah. pemupukan diberikan dengan menggunakan Pupuk yang
diberikan Urea, SP36 dan KCl dengan tiap pupuk berdosis 150, 125 dan 125 kg
ha-1 yang dilakukan secara sebar. Urea diberikan dua kali yakni saat tanam dan
berumur 4 mst, sedangkan SP36 dan KCl diberikan sekaligus pada saat tanam.
Sp-36 dan KCL di berikan di awal karena kemasaman tanah sawah gambut di daerah
ini 3.75-4.05, kandungan N total tinggi pada ketebalan 0-40 cm, ketersediaan P
rendah–sedang, kandungan Ca, Mg dan K sangat rendah, kandung-an hara mikro
terutama Cu dan Zn rendah. kendala pada lahan gambut yakni rendahnya
ketersediaan hapa P sehingga anakan produktif yang dihasilkan dibawah 50%
jumlah anakan maksimum. Namun secara keseluruhan hasil panen cukup baik dengan
rata-rata panen sebagai berikut:
3.3 Pengelolaan Lahan Mineral Masam
Tanah mineral masam memiliki kendala fisik, antara lain;
pertama, kandungan bahan organik yang rendah yaitu sekitar 2% bahkan banyak
tanah yang telah diusahakan untuk pertanian lebih rendah lagi. Produktivitas
tanah turun karena kombinasi kahat unsur hara, degradasi fisik tanah dan
hilangnya bahan organik karena adanya proses dekomposisi bahan organik
dipercepat dan hilangnya bahan organik oleh adanya erosi. Erosi yang
menghilangkan lapisan tanah atas yang subur, dan meninggalkan lapisan tanah
bawah yang mengandung Al tinggi dan bersifat toksik sebagai lapisan olah tanah
untuk media tanaman. kendala utama pada tanah jenis ini yakni kandungan hara
yang rendah menyebabkan input pupuk cukup besar. Pupuk yang diberikan pun jika
sintetik akan semakin menurunkan kesuburan tanah, oleh karena itu pemupukan
dengan bahan organic mutlak perlu dilakukan.
Berdasarkan karakteristik lahanya tanaman kedelai mempunyai
prospek yang cukup besar untuk dikembangkan di tanah Ultisol asal dibarengi
dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Umumnya tanah tersebut
mempunyai pH yang sangat masam hingga agak masam, yaitu sekitar 4.1-5.5, jumlah
basa-basa dapat ditukar tergolong rendah hingga sedang dengan komplek adsorpsi
didominasi oleh Al, dan hanya sedikit mengandung kation Ca dan Mg. Kapasitas
tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) lapisan atas tanah umumnya rendah
hingga sedang (Subagyo et al., 2000). Selain pengolahan tanah yang baik input
pupuk juga harus mendukung,terutama penggunaan bahan organic.
Cara budidaya
Pengolahan tanah awal haruslah intensif dengan penambahan banyak
Bahan Organik sebagai penambahan hara awal serta dilakukan penambahan kapur
CaCO3 sebagai penetral pH. Sebaiknya padi yang diusahakan yakni jenis padi gogo
yang tendering tahan terhadap kondisi tanah semacam ini. Penanaman sebaiknya
menggunakan bibit dengan asupan air yang cukup agar tanaman lebih adaptif
terhadap lingkungan tumbuhnya. Pemupukan disesuaikan dengan dosis yang telah
ditentukan saat pemupukan juga secara rutin dilakukan penambahan CaCO3 untuk
menjaga kestabilan pH.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Budidaya
tanaman pangan pada lahan pasang surut teknik utama yang harus diterapkan yakni
pengelolaan air yang baik serta pemilihan varietas yang sesuai. Dibuat parit
cacingan untuk meminimalisir air yang masuk serta sulan pengeluaran air saat surut
agar tidak terjadi penggenangan. Untuk penanamannya sendiri dapat disamakan
dengan pola pertanian sawah, hanya saja lebih ditekankan pada pengelolaan air.
Lahan gambut Kendala utama pada lahan gambut pada umumnya yakni pH yang terlalu
masam dan umumnya terjadi penggenangan. Pada proses budidaya dapat ditambahkan
kapur untuk menaikkan pH dan irigasi yang baik agar tidak terjadi penggenangan.
Untuk tanaman padi yang sesuai ditanam adalah jenis padi gogo karsena tahan
kekeringan sebab pada musim kering rata-rata lahan gambut menjadi gersang.
Input yang sangat penting ditambahkan yakni kapur. Lahan mineral masam Jenis
lahan ini sangat minim akan bahan organic kareana terjadi percepatan
dekomposisi dan terjadinya erosi. Oleh karena itu, budidaya tanaman pangan pada
lahan ini perlu ditekankan penekanan penambahan Bahan Organik dan penambahan
CaCO3. Untuk jenis padi yang baik ditanam pada lahan ini adalah padi gogo
karena pada umumnya ladan relative kering.
4.2 Komentar
Pada dasarnya budidaya tanaman pangan dapat dilakukan pada lahan
marginal jika ditunjang dengan teknologi yang sesuai. Permasalah utamanya lahan
marginal diatas yakni pengelolaan irigasi dan kondisi pH yang masam.
4.3 Saran
Sebelum melakukan budidaya pada suatu lahan hendaknya kita
pahami dulu karakteristik yang ada sehingga dapat ditentukan teknologi dan
metode apa yang baik diterapkan pada lahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, M. 2007. Karakteristik Kimia Lahan Gambut Dangkal dan
Potensinya untuk Pertanaman Cabai dan Tomat. Bul. Agron. (35) (1) 36 – 43
(2007)
Anonime. Karakteristik dan Potensi Lahan Pasang Surut.htm
(COMPAS.COM). diakses 20 februari 2013
Ardi, Didi. 2007. Jenis-Jenis Lahan Berpotensi Untuk
Pengembangan Pertanian Di Lahan Rawa. Jurnal Litbang Pertanian, 26(3), 115-122,
2007
Jamberi, Achmadi. 2003. Prospek Pengembangan Tanaman Pangan Di
Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjar Baru 70712,
Kalimantan Selatan
Mansur. 2001. Identifikasi Kedalaman Lapisan Pirit Di Lapangan.
Buletin Teknik Pertanian Vol. 6. Nomor 2, 2001
Sabran, M. 2000. Pengujian Galur Kedelai di Lahan Pasang Surut
(Testing of Soybean Genotypes for Tidal Swampland). Balai Pel,elitian Tanaman
Pangan Lahan Rawa. Bul. Agron (28) (2) 41 48 (2000)
Suriadikarta, D. 2008. Pemanfaatan Dan Strategi Pengembangan
Lahan Gambut Eks Plg Kalimantan Tengah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 2 No. 1,
Juli 2008
Suwastika, I wayan. 1997. Budi Daya Padi Sawah di Lahan Pasang
Surut. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP
KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT
Kesuburan tanah gambut
Kesuburan alamiah tanah gambut sangat beragam,
tergantung pada beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat
dekomposisi, (b) komposisi tanaman penyusunan gambut, dan (c) tanah mineral
yang berada dibawah lapisan tanah gambut (Andriesse, 1974). Polak (1949)
menggolongkan gambut kedalam tiga tingkat kesuburan yang didasarkan pada
kandungan P2O5, CaO, K2O, dan kadar abunya, yaitu : (1) gambut eutrofik dengan
tingkat kesuburan yang tinggi, (2) gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan
yang sedang, dan (3) gambut oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang rendah.
Tingginya kandungan basa-basa gambut eutrofik
disebabkan pembentukannya dipengaruhi oleh air payau (campuran air laut dan air
sungai). Gambut mesotrofik pembentukannya dipengaruhi oleh air sungai,
sedangkan gambut oligotrofik pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan
(Leiwakabessy,
1978).
Tanah gambut di Indonesia sebagian besar
bereaksi masam hingga sangat masam dengan pH kurang dari 4,0. Hasil penelitian
Halim (1987) dan Salampak (1999) diperoleh nilai kisaran pH H2O (1:5) yaitu
tanah gambut pedalaman Berengbengkel Kalimantan Tengah sebesar 3,25 hingga
3,75.
Sedangkan pH H2O tanah gambut dari
Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan lebih tinggi yaitu sebesar 4,1-4,3
(Hartatik et al., 2004). Nilai kapasitas tukar kation tanah gambut
berkisar antara 100 hingga 300 me/100 g tanah, hal ini disebabkan oleh muatan
negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus
hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).
Menurut Andriesse (1974) dan Driessen (1978),
kapasitas tukar kation (KTK) gambut ombrogen di Indonesia sebagian besar
ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat. Tanah gambut di Indonesia,
terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun gambut
yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari bahan kayukayuan. Bahan
kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses
degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994).
Kandungan kation basa-basa (Ca, Mg, K, dan Na)
umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin
tebal gambut, kandungan abu semakin rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan
reaksi tanah menjadi lebih masam (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).
Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai KTK yang tinggi, sehingga
ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Rendahnya kandungan basa-basa pada gambut
pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang lebih banyak
dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978). Kejenuhan basa (KB) tanah
gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah. Tanah gambut pedalaman
Berengbengkel Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10% (Tim
Institut Pertanian Bogor, 1974), demikian juga nilai KB tanah gambut dataran
rendah Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).
Unsur fosfor (P) pada tanah gambut sebagian
besar dijumpai dalam bentuk P organik, yang selanjutnya akan mengalami proses
mineralisasi menjadi P inorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar senyawa P
organik berada dalam bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono
dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri atas inositol fosfat,
fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat, ketiga senyawa pertama
bersifat dominan.
Fraksi P organik diperkirakan mengandung 2% P
sebagai asam nukleat, 1% sebagai fosfolipid, 35% inositol fosfat, dan sisanya
belum teridentifikasi. Di dalam tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat
dibandingkan ester lainnya, sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan
kadarnya di dalam tanah menempati lebih dari setengah P organik atau kira-kira
seperempat total P tanah. Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe
atau Al membentuk garam yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam
keadaan demikian, garam ini sukar didegradasi oleh mikroba (Stevenson, 1994).
Penelitian pada tanah Histosol yang tidak
diusahakan, dan didrainase yang mengandung bahan mineral yang tinggi, termasuk
besi feri (Fe3+) dan Ca yang tinggi akan menurunkan mobilitas dan degradasi
fosfat. Dari total P fraksi terbesar yaitu fraksi P organik tidak labil dan
yang resisten. Asam fulvat berasosiasi dengan P sebesar 12% dari total P.
Fosfat residu berturut-turut sebesar 13; 29; dan 8% dari total P tanah pada
Histosol yang diusahakan, tidak diusahakan, dan yang digenangi (Ivanoff et
al., 1998).
Proses mineralisasi P organik oleh jasad mikro
sangat dipengaruhi oleh nisbah C dan P. Bila nisbah C dan P mencapai 300 akan
terjadi immobilisasi P oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan
penyusun struktur sel jasad mikro. Sedangkan bila nisbah C dan P mencapai 200,
proses mineralisasi akan berjalan lebih cepat daripada proses immobilisasi,
sehingga P akan dapat lebih tersedia bagi tanaman. Menurut Tisdale et
al. (1985) proses mineralisasi akan lebih konstan bila nisbah C, N, dan P
mencapai nilai sebesar 100:10:1. Dengan demikian proses mineralisasi yang
terjadi pada tanah gambut berlangsung lambat, karena nisbah C dan P sangat
lebar (Miller dan Donahue, 1990).
Pada tanah gambut kandungan unsur mikro
umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkan gejala
defisiensi bagi tanaman. Tanah yang berkadar bahan organik tinggi seperti
gambut, sebagian besar hara mikro, terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan
organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972). Grup
karboksilat dan fenolat pada tapak reaktif tanah gambut dapat membentuk senyawa
kompleks dengan unsur mikro, sehingga mengakibatkan unsur mikro menjadi tidak
tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan
unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan.
Menurut Driessen (1978) kandungan unsur mikro
tanah gambut pada lapisan bawah umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas.
Namun dapat juga kandungan unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi
apabila terjadi pencampuran dengan bahan tanah mineral yang ada di lapisan
bawah gambut tersebut.
Sifat kimia tanah gambut
Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan
erat dengan kandungan asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat
(Andriesse,
1974; Miller dan Donahue, 1990). Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi
mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (–COOH) dan fenol (C6H4OH)
yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah
sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak.
Diperkirakan bahwa 85 sampai 95% muatan pada
bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut.
Dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob akan menghasilkan beberapa
senyawa dan gas, antara lain adalah metan, hidrogen sulfida, etilen, asam
asetat, asam butirat, asam laktat, dan asam-asam organik lainnya seperti
asam-asam fenolat. Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat racun bagi
tanaman (Tsutsuki dan Kondo, 1995).
Tanah-tanah gambut di Indonesia mempunyai
kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah gambut yang
berada di daerah yang beriklim sedang (Driessen dan Suhardjo, 1976; Driessen,
1978). Lignin tersebut akan mengalami proses degradasi menjadi senyawa humat,
dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-asam fenolat
(Kononova, 1968).
Beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai
dalam tanah adalah asam vanilat, p-kumarat, p-hidroksibenzoat,
salisilat, galat, sinapat, gentisat, dan asam siringat (Tsutsuki, 1984).
Asam-asam fenolat tersebut berpengaruh langsung terhadap proses biokimia dan
fisiologi tanaman, serta penyediaan hara di dalam tanah. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat bersifat fitotoksik bagi tanaman
dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Stevenson, 1994).
Konsentrasi asam fenolat sebesar 0,6-3,0 mM
dapat menghambat pertumbuhan akar padi sampai 50%, sedangkan pada konsentrasi
0,001 hingga 0,1 mM dapat mengganggu pertumbuhan beberapa tanaman (Tsutsuki,
1984). Pengaruh asam p-hidroksibenzoat yang diberikan terusmenerus
sampai panen dengan konsentrasi >0,1 mM menurunkan bobot kering tanaman
bagian atas dan biji pada saat panen (Tadano et al., 1992).
Wang et al. (1967) mendapatkan
pada konsentrasi asam p-hidroksibenzoat sebesar 7-70 mM dapat
menekan pertumbuhan tanaman jagung, gandum, dan kacang-kacangan. Sedangkan pada
konsentrasi 180 mM tidak berpengaruh terhadap tanaman tebu, tetapi pada
konsentrasi asam p-hidroksibenzoat 360 mM berpengaruh terhadap
pertumbuhan akar tanaman tebu.
Hartley dan Whitehead (1984) mengemukakan
bahwa asam-asam fenolat pada konsentrasi 250 μM menurunkan sangat nyata serapan
kalium oleh tanaman barley. Asam salisilat dan ferulat menyebabkan terhambatnya
serapan kalium dan fosfor oleh tanaman gandum serta asam ferulat pada
konsentrasi 500 hingga 1000 μM menurunkan serapan fosfor pada tanaman kedelai.
Bahan-bahan fitotoksik hasil dekomposisi bahan
organik berpengaruh terhadap perubahan permeabilitas sel tanaman, sehingga
asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, nekrosis pada sel
akar, menghambat dan menunda perkecambahan. Selain bahan fitotoksik ini dapat
mematikan biji, menghambat pertumbuhan akar, pertumbuhan tanaman kerdil,
mengganggu serapan hara, klorosis layu, dan akhirnya dapat mematikan tanaman
(Patrick,
1971).
AMELIORASI DAN PEMUPUKAN PADA LAHAN GAMBUT
Rendahnya produktivitas lahan gambut disebabkan
oleh adanya berbagai faktor pembatas, diantaranya kandungan asam-asam fenolat
yang tinggi, kemasaman yang tinggi, kapasitas tukar kation yang tinggi dengan
kejenuhan basa dan ketersediaan P yang rendah. Mengusahakan lahan gambut dengan
cara disawahkan, secara tidak langsung dapat menekan terjadinya penurunan
permukaan tanah (subsident), namun permasalahan yang dihadapi adalah munculnya
asam-asam organik dalam konsentrasi yang tinggi yang meracuni tanaman, terutama
asam-asam fenolat (Salampak, 1999).
Asam-asam fenolat tersebut merupakan hasil
biodegradasi anaerob dari senyawa lignin dalam bahan asal kayu-kayuan (Tsutsuki
dan Kondo, 1995). Pengaruh buruk dari derivat asam-asam fenolat dapat dikurangi
dengan pemberian kation-kation polivalen seperti Al, Fe, Cu, Zn (Saragih 1996).
Penurunan asam asam fenolat disebabkan oleh adanya serapan kation-kation
polivalen oleh tapak reaktif gugus fungsional asam-asam organik sehingga
membentuk senyawa kompleks yang resisten (Stevenson, 1994).
Tapak-tapak reaktif di dalam tanah gambut
berasal dari gugus fungsional asam organik yang mengandung oksigen (C=O, –OH,
dan –COOH), terutama dari gugus –OH asam fenolat. Penelitian Saragih (1996)
menunjukkan bahwa kation Fe+3 lebih efektif dan stabil
berikatan dengan senyawa-senyawa organik dalam gambut dibandingkan dengan
kation Al+3, Ca+2, Cu+2, dan Fe+2. Penggunaan kation Fe sangat baik bagi
pengikatan P sehingga dapat mengkonservasi dan meningkatkan ketersediaan P
(Rachim, 1995).
Upaya peningkatan produktivitas lahan gambut
melalui teknologi pencampuran dengan tanah mineral telah lama dipraktekkan di
lahan gambut. Tanah mineral yang sesuai sebagai bahan amelioran untuk menekan
aktivitas asam-asam fenolat tergantung kandungan asam-asam fenolat dominan pada
gambut. Untuk gambut dari Kalimantan Tengah yang mengandung asam ferulat lebih
tinggi, maka tanah mineral yang lebih sesuai yang mengandung besi tinggi.
Sedangkan pada gambut Sumatera Selatan yang
mengandung asam phidroksibenzoat yang lebih tinggi, maka pemberian tanah
mineral perlu dikombinasikan dengan pemberian terusi (sumber Cu). Petani di
Belanda mencampurkan tanah mineral yang ada di bawah gambut dengan gambut yang
ada diatasnya, tanah mineral diaduk merata dengan gambut hingga kedalaman 40
cm.
Sedangkan petani di Rusia mencampurkan tanah
mineral dengan gambut dengan cara menyebarkan tanah mineral di atas tanah
gambut sebanyak 300- 400 m3/ha atau setebal 3-4 cm, kemudian dibajak agar tanah
mineral tercampur rata dengan tanah gambut. Praktek petani di Jerman untuk meningkatkan
produktivitas tanah gambut dengan tanah mineral berbeda dengan Belanda dan
Rusia. Tanah mineral yang diangkut dari tempat
terdekat, disebar rata di atas permukaan tanah gambut setebal 10 hingga 12 cm
atau 1.000 hingga 1.200 m3/ha, tetapi tidak dicampur dengan gambut
(Skoropanov, 1968). Pemberian tanah mineral setebal 6 cm atau setara 600 t/ha
pada tanah gambut Hokaido Jepang meningkatkan hasil padi 4,3 t/ha (Miyake,
1982).
Soepardi dan Surowinoto (1986) melaporkan
bahwa pemberian tanah mineral sebanyak 60 t/ha mampu meningkatkan hasil
tanaman, hanya saja upaya tersebut harus dibarengi dengan upaya pemupukan.
Halim (1987) melakukan pencampuran tanah
gambut Sumatera Selatan dengan tanah mineral berasal dari tanggul sungai (levee)
sebesar 16 ton bahan tanah dan 3 ton dolomit + 1,5 ton kalsit serta 80 kg besi
per hektar meningkatkan hasil kedelai sebesar 17,7 ku/ha. Rachim et al.
(1991) melaporkan takaran tanah mineral berpirit sebanyak 20% dari bobot tanah
gambut meningkatkan hasil tanaman jagung dan padi. Bila takaran campurannya
ditingkatkan menjadi 40%, maka cenderung menurunkan hasil, karena meningkatnya
bobot gabah yang hampa. Pencampuran tanah mineral berpirit perlu diwaspadai
karena dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman, karena meningkatnya
Al-dd, H-dd, dan SO42-.
Pemanfaatan bahan amelioran lumpur laut dan
kapur terhadap peningkatan produksi kedelai pada gambut Kalimantan Barat
menunjukkan bahwa lumpur laut dapat memperbaiki produktivitas gambut melalui
perbaikan sifat-sifat kimia, antara lain meningkatkan pH, ketersediaan Ca dan
Mg, kejenuhan basa, kombinasi kapur 3 t/ha dan lumpur laut 7,5% meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai (Sagiman, 2001).
Ameliorasi dengan tanah mineral berkadar besi
tinggi dapat mengurangi pengaruh buruk dari asam-asam fenolat (Hartatik, 2003).
Salampak (1999) melaporkan pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi sampai
takaran 7,5% erapan maksimum besi pada tanah gambut dari Kalimantan Tengah
mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat sekitar 30% dan meningkatkan
produksi padi dari 0,73 menjadi 3,24 t/ha. Pemberian tanah mineral juga dapat
memperkuat ikatan-ikatan kation dan anion sehingga konservasi terhadap unsur
hara yang berasal dari pupuk menjadi lebih baik. Selain itu, ikatan dengan
koloid inorganik menyebabkan degradasi bahan gambut menjadi
terhambat
(Alexander, 1977) sehingga gambut sebagai sumber daya alam dapat digunakan
dalam jangka waktu yang lama.
Kation besi dari amelioran tanah mineral dapat
menciptakan tapak erapan baru pada gambut sehingga ikatan fosfat menjadi lebih
kuat dan tidak mudah lepas. Kation besi berperan sebagai jembatan pengikat
fosfat pada tapak erapan reaktif gambut sehingga hara P dari tapak reaktif
gambut dapat dilepaskan secara lambat dan kebutuhan tanaman dapat dipenuhi.
Hartatik (2003) melaporkan pemberian bahan amelioran tanah mineral takaran 7,5%
erapan maksimum Fe pada tanah gambut Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan
menurunkan konsentrasi asam siringat, asam kumarat dan asam vanilat
berturut-turut 88, 67, dan 36%.
Menurut Tadano et al. (1992)
beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah gambut di antaranya
asam ferulat, asam vanilat, p-kumarat, dan p-hidroksibenzoat
pada konsentrasi tertentu dapat bersifat racun terhadap pertumbuhan tanaman.
Asam asam fenolat tersebut berpengaruh menekan aktivitas fisiologi akar,
menghambat pertumbuhan akar, dan mengganggu serapan hara.
Penurunan asam-asam fenolat ini disebabkan
oleh adanya interaksi antara kation Fe dari bahan amelioran sebagai jembatan
kation dan asam-asam fenolat melalui proses polimerisasi. Kation Fe bereaksi
dengan ligan organik membentuk ikatan kompleks. Asam-asam organik berperan
sebagai penyumbang pasangan elektron (donor), sedangkan kation Fe
berperan sebagai penerima elektron (aseptor) (Tan, 1993).
Penurunan konsentrasi asam-asam fenolat dalam
tanah gambut pada prinsipnya tidak dimaksudkan untuk menghabiskan konsentrasi
asam-asam organik tersebut, karena hampir seluruh reaksi kimia yang terjadi di
dalam tanah tersebut berada pada tapak reaktif dari berbagai gugus fungsional
asam-asam organik yang mengandung oksigen (–C=O, –OH, dan –COOH). Oleh karena
itu untuk menurunkan konsentrasi asam-asam organik yang meracun dalam tanah
gambut harus dirancang, agar tidak sampai menghilangkan fungsinya sebagai media
tumbuh tanaman, serta fungsinya sebagai pusat pertukaran kimia (koloid). Ameliorasi
gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan dengan tanah mineral berpirit
menunjukkan bahwa pencucian pada amelioran tanah mineral yang berkadar pirit
rendah maupun tinggi, mampu menurunkan kadar pirit terlarut.
Pada tanah mineral yang berkadar pirit rendah,
pencucian yang dilakukan empat kali sebulan menurunkan kadar sulfat terlarut
sebesar 74% yaitu dari 320 ppm menjadi 84 ppm, bila pencucian dilakukan dua
kali sebulan mampu menurunkan kadar sulfat terlarut sebesar 69% yaitu dari 317
ppm menjadi 98 ppm. Sedangkan pada tanah mineral berpirit tinggi pencucian dua
dan empat kali sebulan mampu menurunkan kadar sulfat terlarut masing-masing 93
dan 91%.
Demikian juga pencucian yang dilakukan setelah
tanah mineral berpirit dicampur dengan tanah gambut juga cukup efektif
menurunkan kadar sulfat terlarut dalam tanah. Ameliorasi gambut dengan tanah
mineral berpirit, disarankan melakukan pencucian untuk menurunkan kadar sulfat
sampai batas tidak menghambat pertumbuhan tanaman, sebaiknya dilakukan
percampuran gambut dengan tanah mineral dahulu sebelum dilakukan pencucian,
untuk menghindari hilangnya basa-basa dalam gambut dan meningkatkan hasil
tanaman Ameliorasi gambut dengan tanah mineral berpirit yang telah diturunkan
kadar sulfatnya melalui pencucian dua kali setelah diinkubasi selama satu bulan
menunjukkan bahwa dapat menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat dari tanah
gambut sebesar 44% untuk p-hidroksi benzoat, 75% untuk asam
vanilat, 78% untuk asam p-kumarat, 80% untuk asam sinapat, 96%
untuk asam ferulat, dan 85% untuk asam siringat, serta meningkatkan pertumbuhan
dan hasil tanaman padi
(Suastika,
2004).
Mario (2002) melaporkan peningkatan
produktivitas tanah gambut pantai (Samuda), gambut transisi (Sampit) dan gambut
pedalaman (Berengbengkel) Kalimantan Tengah, dengan pemberian tanah mineral
yang mengandung besi tinggi (Fe2O3 = 22,06%) dengan
takaran 5% erapan Fe maksimum yang dikombinasikan dengan terak baja (Fe2O3 =
42,6%) dalam beberapa kombinasi. Kombinasi perlakuan yang dicobakan yaitu 90%
tanah mineral + 10% terak baja, 80% tanah mineral + 20% terak baja, 70% tanah
mineral + 30% terak baja, 60% tanah mineral + 40% terak baja, 50% tanah mineral
dan 50% terak baja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengkayaan tanah mineral
dengan pemberian terak baja mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat.
Penurunan proporsi bahan tanah mineral sebagai bahan amelioran menurunkan
kemampuan amelioran tersebut dalam menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat.
Peningkatan proporsi terak baja dari 10% hingga
50% menyebabkan menurunnya interaksi yang terjadi antara asam-asam fenolat
dengan Fe yang terkandung dalam amelioran. Pemberian amelioran meningkatkan
ketersediaan hara terutama basabasa dalam tanah gambut, meskipun kecenderungan
terjadi penurunan pH tanah, namun demikian peningkatan proporsi terak baja
cenderung meningkatkan pH tanah. Pemberian amelioran berpengaruh nyata dalam
meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi. Pada gambut Berengbengkel
peningkatan proporsi terak baja secara linear meningkatkan produksi padi,
sedangkan pada gambut Samuda dan Sampit tidak terjadi perbedaan yang nyata.
Peningkatan produktivitas tanah gambut
transisi dapat dicapai dengan pemberian 70% setara 4,6 t/ha bahan tanah mineral
yang diperkaya dengan 30% setara 1,5 t/ha terak baja, sedangkan untuk gambut
pantai hanya dengan pemberian bahan tanah mineral sebesar 7,9 t/ha. Untuk
gambut pedalaman penggunaan bahan tanah mineral yang diperkaya oleh terak baja
tidak mampu untuk memperbaiki produktivitas tanah gambut yang disawahkan. Hal
ini disebabkan pada gambut pedalaman mempunyai kandungan asam fenolat potensial
yang cukup tinggi, sehingga sulit memprediksi kebutuhan bahan amelioran dalam
menurunkan asam-asam fenolat.
Pengkayaan tanah mineral insitu oleh bahan
berkadar besi tinggi (terak baja) sebagai bahan amelioran pada gambut dari Air
Sugihan Kiri untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut yang disawahkan
menunjukkan bahwa pemberian amelioran tanah mineral insitu dengan takaran 5%
erapan maksimum Fe dengan terak baja 15% meningkatkan hasil gabah kering
sebesar 4,6 t/ha (Laporan kerjasama Lembaga Penelitian IPB dan PPTA, 2001).
Murnita (2001) mempelajari peranan bahan
amelioran besi (Fe) dan zeolit terhadap perilaku K dan hasil padi pada tanah
gambut pantai dan gambut peralihan Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian bahan amelioran Fe sebanyak 2,5% erapan maksimum Fe dan zeolit
0,25-3% dapat mengurangi konsentrasi asam-asam fenolat dalam tanah gambut
pantai saprik dan hemik masing-masing sebesar 9-47% dan 9-52%, serta gambut
peralihan saprik dan hemik sebesar 9-53% dan 10-62%. Pemberian Fe berperan
lebih besar dalam menekan konsentrasi asam-asam fenolat dibandingkan dengan
zeolit.
Suriadikarta dan Jayusman (2001), telah
mencoba menggunakan pupuk cair shimarock untuk meningkatkan produksi tanah
gambut yang disawahkan. Shimarock adalah pupuk cair yang berasal dari Jepang
yang dibuat dari ekstrak mineral vermikulit yang mengandung 22 jenis mineral,
yaitu : Ca, Mg, K, Na, Se, Si, P, Rb, Ge, Zn, W, Mn, Fe, Cu, Co, Ni, Mo, Li, V,
Ti, Al, dan Ba.
Mineral-mineral tersebut sangat penting dalam
proses fotosintesis, dan merupakan komponen enzim yang penting sebagai
katalisator dalam metabolisme tanaman. Shimarock dapat membuat akar tanaman
menjadi cepat tumbuh dan banyak membentuk akar-akar halus tumbuh dan ini
menjadi penting untuk tanaman (Kondo, 2001).
Bahan shimarock telah dicoba di Indonesia pada
tanah gambut lahan sawah di daerah Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan dengan
tanaman padi varietas lokal Komojoyo. Penelitian dilaksanakan pada MH 2001,
dengan dosis 1 cc/lt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan
shimarock pada lahan gambut dapat meningkatkan tanaman padi dua kali lipat
lebih (212,5%), yaitu dari 1,6 t/ha menjadi 3,4 t/ha GKG.. Tetapi bila digunakan
pada tanah mineral masam (Ultisols) dengan varietas unggul baru IR-64 dapat
meningkatkan hasil 20,3%, yaitu dari 6,4 t/ha menjadi 7,7 t/ha GKG, sedangkan
dengan varietas hibrida Yaponica peningkatannya kecil hanya 7,3% yaitu dari 6,8
t/ha menjadi 7,3 t/ha GKG. Peningkatan ini kecil karena varietas Yaponica belum
dapat beradaptasi dengan tanah Ultisols di Indonesia.
Hartatik et al. (2004)
melaporkan pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah
gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap pencucian P dari
kolom tanah menunjukkan bahwa pemberian fosfat alam Maroko, Ciamis, atau SP-36
pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terjadi akumulasi P
pada lapisan atas. Dari hasil analisis kolom tanah setiap kedalaman 10 cm
menunjukkan bahwa bahan amelioran dan fosfat alam Maroko, Ciamis atau SP-36
menyebabkan P lebih banyak terakumulasi pada kedalaman 5 hingga 20 cm. Nisbah
kadar P kolom tanah antara kedalaman 0 hingga 30 cm dengan 30 hingga 60 cm
masing-masing pada takaran 50, 100, dan 200% P yaitu 1,54; 1,90; dan 2,79 untuk
fosfat alam Maroko dan 1,64; 1,76; dan 4,11 untuk fosfat alam Ciamis serta
1,31; 2,05; dan 2,79 untuk SP 36. Pemberian bahan amelioran dan pemupukan
fosfat alam Maroko dan Ciamis meningkatkan P pada lapisan atas, sehingga P yang
tercuci berkurang dibandingkan SP-36.
Sedangkan perlakuan fosfat alam Christmas, P
terakumulasi pada kedalaman 30 hingga 40 cm, dengan nisbah kadar P kolom tanah
antara kedalaman 0 hingga 30 cm dengan 30 hingga 60 cm pada takaran 50, 100,
dan 200% P yaitu 1,05; 1,11; dan 1,38. Diduga hal ini berkaitan dengan
rendahnya kelarutan fosfat alam tersebut dalam tanah. Adanya akumulasi P di
lapisan bawah menunjukkan bahwa tidak ada peranan Fe dalam fosfat alam terhadap
pengikatan P. Hal ini disebabkan karena besi terikat kuat dalam mineral apatit
yang sukar larut.
Kolom tanah tanpa perlakuan bahan amelioran
menunjukkan akumulasi P pada kedalaman 30 hingga 60 cm. Pemberian bahan
amelioran mampu meningkatkan ikatan P dalam tanah gambut, sehingga P tidak
mudah hilang tercuci dalam tanah. Diduga pemberian bahan amelioran akan
membentuk tapak-tapak reaktif baru bagi P yang dihasilkan dari interaksi asam
organik-Fe, sehingga terbentuk senyawa kompleks organik-Fe-P. Besi dari bahan amelioran
berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan asam-asam organik dengan anion
fosfat.
Adanya kemampuan pengikatan P ini, kehilangan
P dari dalam tanah dapat dikurangi, sehingga efisiensi pemupukan P dalam tanah
gambut dapat ditingkatkan. Hasil ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan
oleh Rachim (1995), Salampak (1999), dan Wild (1990) yang mengemukakan bahwa
kation polivalen dapat menjembatani ikatan antara P dan asam-asam organik.
Diantara sumber P, perlakuan fosfat alam Maroko memberikan kadar P dalam kolom
tanah paling tinggi diikuti berturut-turut SP-36, Ciamis, dan terendah
Christmas.
Hartatik (2003) mempelajari pengaruh pemberian
beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan
amelioran tanah mineral terhadap pertumbuhan dan serapan P tanaman padi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa fosfat alam Ciamis takaran 50% erapan maksimum P
memberikan bobot kering tanaman setara SP-36. Fosfat alam Ciamis meningkatkan
bobot kering tanaman sebesar 82% dibandingkan kontrol. Fosfat alam Maroko dan
Christmas umumnya memberikan bobot kering tanaman yang rendah yang tidak
berbeda nyata dengan kontrol Lebih besarnya persentase serapan P dari SP-36
sejalan dengan bobot kering tanaman dan serapan P yang lebih tinggi
dibandingkan fosfat alam Maroko, Christmas, dan Ciamis. Diantara beberapa jenis
fosfat alam yang dicoba, fosfat alam Ciamis takaran 50% memberikan persentase
serapan P yang paling tinggi yaitu sebesar 8,55 hampir menyamai SP-36 pada
takaran yang sama. Peningkatan takaran fosfat alam dan SP-36 menurunkan
persentase serapan P.
Rasjid, Sisworo, dan Sisworo (1997) melaporkan
hasil yang sama bahwa peningkatan takaran fosfat alam atau SP-36 menurunkan
persentase serapan P untuk tanaman padi-kedelai dan kacang hijau yang ditanam
berurutan. Lahan gambut selain memerlukan ameliorasi juga memerlukan pemupukan
NPK serta hara mikro Cu dan Zn, karena tanah gambut mempunyai afinitas yang
lemah terhadap kation maupun anion, sehingga pemberian pupuk harus dilakukan
secara bertahap sesuai dengan masa pertumbuhan tanaman.
Pemberian 5 kg terusi (CuSO4) nyata
meningkatkan hasil dan mengurangi kehampaan gabah, sedangkan pada gambut dalam
diperlukan 15 kg terusi/ha. Pemberian hara mikro Zn dan Cu dikombinasikan
dengan pemupukan Urea 100 kg/ha, TSP 100 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha, nyata
meningkatkan hasil padi sebesar 0,81 t/ha yaitu dari 3,3 t/ha menjadi 4,1 t/ha
pada gambut dalam Indragiri Hilir, Riau (Yusuf et al., 1995).
Penelitian respon tanaman jagung terhadap
pemupukan P telah dilakukan di lahan gambut Sugihan Kiri, Sumatera Selatan
menggunakan beberapa sumber pupuk P yaitu fosfat alam Maroko, Christmas, dan
Christmas dikombinasikan dengan abu batubara, dengan takaran pupuk P yaitu 0,
25, 50, dan 100 kg P/ha, dan takaran abu batubara 700 kg/ha. Pupuk dasar yang
digunakan Urea 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan 2 t/ha kapur. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa pemupukan P meningkatkan hasil jagung dan fosfat alam Maroko
nyata lebih baik dibandingkan fosfat alam Christmas, sedangkan abu batubara
tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hasil jagung (Sholeh, 1999).
Pemupukan P pada tanah gambut dengan pupuk P
yang mudah larut seringkali tidak memberikan respon yang nyata, hal ini
disebabkan sebagian P yang diberikan akan tercuci, dan tidak terserap tanaman. Penelitian
penggunaan fosfat alam pada gambut Kelampangan, Kalteng menunjukkan bahwa
pemupukan fosfat alam cenderung memberikan hasil yang lebih baik dari SP-36.
Walaupun hasil yang diperoleh belum maksimal, namun terdapat kecenderungan
bahwa fosfat alam Christmas yang mengandung seskuioksida tinggi memberikan
hasil yang lebih baik dari fosfat alam Ciamis dan SP-36. Adanya seskuioksida
(Al2O3 dan Fe2O3) yang tinggi,
akan meningkatkan ketersediaan hara P, sehingga dapat diserap tanaman.
Penelitian pada gambut dalam yang baru dibuka (dengan pH 4,3 dan P-Bray I 10
ppm) di Kelampangan Kalteng, menunjukkan bahwa penambahan KSP, kaptan fosfatan,
dan P-alam Ciamis memberikan hasil yang lebih baik dari SP-36 (Subiksa et
al., 1998).
Pengaruh ameliorasi dan pemupukan P dan K
terhadap kedelai pada lahan gambut Kalimantan Barat dilakukan di Siantan Hilir
menggunakan ameliorasi abu gergaji, dolomit, abu gergaji + terak baja dan
dolomit + terak baja dan kombinasi pemupukan P dan K. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian abu gergaji dan dolomit meningkatkan pH tanah,
kation tukar Ca, Mg, dan K serta P tersedia. Amelioran abu gergaji nyata lebih
baik dari ameliorasi lainnya dengan urutan abu gergaji, abu gergaji + terak
baja > dolomit > dolomit + terak baja. Kombinasi pemupukan 40 kg P dan 50
kg K/ha dengan ameliorasi abu gergaji meningkatkan bobot biji kering kedelai
yaitu sebesar 12,38 ku/ha (Hartatik et al., 1995).
KESIMPULAN
Dalam mengaplikasikan teknologi pengelolaan
lahan gambut harus mempertimbangkan dan memperhatikan karakteristiknya sebelum
lahan gambut dibuka untuk lahan pertanian. Karakteristik itu adalah di
antaranya: ketebalan dan kematangan tanah gambut, kesuburan tanah gambut, dan
lapisan tanah yang berada di bawahnya. Selain itu, ada beberapa sifat fisik
yang perlu diperhatikan, yaitu berat jenis (bulk density), subsidence (penurunan
permukaan lapisan tanah gambut), dan sifat kering tak balik (irreversible
drying). Jika pembukaan lahan gambut untuk pertanian tidak mengindahkan
karakteristiknya maka akan mengalami kegagalan seperti yang terjadi pada
beberapa lokasi pemukiman transmigrasi di Indonesia, yaitu Sumatera dan
Kalimantan.
Selain itu, yang perlu diperhatikan dan
merupakan kunci utama keberhasilan usaha pertanian di lahan gambut adalah tata
air (water management), yaitu bagaimana pengaturan air di
lahan usaha dan saluran air agar tidak terjadi kering berlebihan (over drain).
Tata air ini sangat erat hubungannya dengan penataan dan pemanfaatan lahan,
yaitu antara tipe luapan dan tipologi lahannya. Pola pemanfaatan dan tata air
pada gambut di lahan lebak akan berbeda dengan gambut yang berada di pasang
surut air tawar, atau di payau. Pengaturan tata air sangat penting untuk : 1)
pemanfaatan air pasang untuk pengairan, 2) mencegah akumulasi garam pada daerah
perakaran, 3) mencuci zat zat toksik bagi tanaman, 4) mengatur tinggi genangan
untuk sawah dan tinggi permukaa air, dan 5) mencegah penurunan permukaan tanah
yang terlalu cepat untuk tanah gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil
Microbiology. John Wiley and Sons Inc. New York.
Andriesse, J.P. 1974. Tropical Peats in South
East Asia. Dept. of Agric. Res. Of the Royal Trop. Inst. Comm. 63. Amsterdam 63
p.
Anwar, K. dan M. Alwi. 2000. Pengelolaan hara
untuk meningkatkan hasil jagung di lahan gambut dangkal. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27
Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Driessen, P.M. 1978. Peat soils. pp: 763-779.
In: IRRI. Soil and rice. IRRI. Los Banos. Philippines.
Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1976. On the
defective grain formation of sawah rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 –
44. Bogor.
Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah
mineral dan basa dengan tanah gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya
tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor. 322p.
Hartatik, W. dan D.A. Suriadikarta. 2001.
Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam potensial bergambut. Dalam Prosiding
Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Cisarua, 30-31 Oktober
2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Hartatik, W., D.A. Suriadikarta, dan I P.G.
Widjaja-Adhi. 1995. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap tanaman kedelai
pada lahan gambut Kalimantan Barat. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat No. 2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S.
Djuniwati, dan J.S. Adiningsih. 2004. Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36
pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap serapan P
dan efisiensi pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas
Andalas. Padang.
Hartley, R.D. and D C. Whitehead. 1984.
Phenolic acids in soil and their influence of plant growth and soil microbial
processes. In: D. Vaughan and R.E. Malcolm (ed). Soil organic
matter and biological activity. Martinus Nijhoff, DR W. Junk Publisher.
Lancaster. pp. 109-149.
Ivanoff, D.B., K.R. Reddy, and S. Robinson.
1998. Chemical fractionation of organik phosphorus in selected Histosols. J.
Soil Sci. 163(1):36-45.
Kononova. M.M. 1968. Transformation of organic
matter and their relation to soil fertility. Sov. Soil. Sci. 8:1047-1056.
Koswara, O. 1973. Potensi dan pemanfaatan
daerah pasang surut : suatu kasus di Sumatera. Seminar Pembangunan Fakultas
Pertanian, IPB-Badan Pengendali Bimas, Departemen Pertanian. Laporan Kerjasama
Lembaga Penelitian IPB dengan Puslittanak. 2001.
Leiwakabessy, F.M. 1978. Sifat lahan yang
tersedia pada daerah transmigrasi. Seminar pemantapan usaha-usaha pembangunan
di daerah transmigrasi oleh JTKI-PPSM.
Mario, M.D. 2002. Peningkatan produktivitas dan
stabilitas tanah gambut dengan pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh
bahan berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Miller, M.H. and R.L. Donahue. 1990. Soils. An
Introduction to Soils and Plant Growth. Prentice Hall Englewood Cliffs. New
Jersey. 768p.
Murnita. 2001. Peranan bahan amelioran besi
(Fe3+) dan zeolit terhadap perilaku kalium dan produksi padi pada tanah gambut
pantai dan peralihan Jambi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Patrick, Z.A. 1971. Phytotoxic substance
associated with the decomposition in soil of plant residues. Soil Sci. 111:
13-18.
Polak, B. 1949. The Rawa Lakbok ( South
Priangan, Java ). Investigation into the composition of an eutrophic topogenous
bog. Cont. Gen. Agr. Res. Sta. No. 8, Bogor, Indonesia.
Polak, B. 1975. Character and occurrence of
peat deposits in the Malaysian tropics. In: G.J. Barstra, and W.A. Casparie (Eds.).
Modern Quaternary Research in Southeast Asia. Balkema, Rotterdam.
Prasetyo, T.B. 1996. Perilaku asam-asam
organik meracun pada tanah gambut yang diberi garam Na dan beberapa unsur mikro
dalam kaitannya dengan hasil padi. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Rachim, A. 1995. Penggunaan kation-kation
polivalen dalam kaitannya dengan ketersediaan fosfat untuk meningkatkan
produksi jagung pada tanah gambut. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Rachim, A., A. Sutandi, S. Anwar, dan B.
Nugroho. 1991. Alternatif perbaikan kesuburan tanah gambut tebal. J. Ilmu
Pertanian Indonesia 1:72-78.
Radjagukguk, B. 1997. Peat soil of Indonesia:
Location, classification, and problems for sustainability. In: J.O.
Rieley and S.E. Page (Eds.). pp. 45-54. Biodiversity and sustainability
of tropical peat and peatland. Proceedings of the International Symposium on
Biodiversity, environmental importance and sustainability of tropical peat and
peatlands, Palangka Raya, Central Kalimantan 4-8 September 1999. Samara
Publishing Ltd. Cardigan. UK.
Rasjid, H., E.L. Sisworo, dan W.H. Sisworo
1997. Keefisienan fospat alam sebagai pupuk p tanaman jagung. Risalah pertemuan
ilmiah. penelitian dan pengembangan Aplikasi isotop dan radiasi, Jakarta 18-19
Februari 1997 Buku 2 P3TIR-BATAN . Hlm 95-98.
Sagiman, S. 2001. Peningkatan produksi kedelai
di tanah gambut melalui inokulasi Bradyrhizobium japonicum asal
gambut dan pemanfaatan bana amelioran (lumpur dan kapur). Disertasi Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas
tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral
berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-Asam
Organik Meracun dengan Penambahan Fe (III) pada Tanah Gambut Jambi, Sumatera.
Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sholeh. 1999. Pengaruh penggunaan P-alam dan
abu batu bara untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut di Sumatera
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk,
Lido-Bogor, 6-8
Desember 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry.
Genesis, Composition, and Reactions. John Wiley and Sons. Inc. New York. 443 p.
Suastika, I W. 2004. Efektivitas Amelioran
Tanah Mineral Berpirit yang Telah Diturunkan Kadar Sulfatnya pada Peningkatan
Produktivitas Tanah Gambut. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Subiksa, I G.M., Sulaeman, dan I P.G.
Widjaja-Adhi. 1998. Pembandingan pengaruh bahan amelioran untuk meningkatkan
produktivitas lahan gambut. Dalam Prosiding Pertemuan
Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, 10-12
Februari 1998.
Suhardjo, H. and I P.G. Widjaja-Adhi. 1976.
Chemical characteristics of the upper 30 cms of peat soils from Riau. ATA 106.
Bull. 3: 74-92. Soil Res. Inst. Bogor.
Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, and W.
Pantanahiran. 1991. Occurrence of phenolic compounds and aluminum toxicity in
tropical peat soils. In: Tropical peat, Proceedings of the International
Symposium on Tropical Peatland. MARDI, Malaysia.
Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, T.
Hara, P. Vijarnsorn, C. Nilnond, and S. Kawaguchi. 1990. Nutritional Factors
Limiting Crop Growth in Tropical Peat Soils. In Soil Constraints on Sustainable
Plant Production in the Tropics. Proc. 24th inter. Symp.
Tropical Agric. Res. Kyoto.
Tadano, T., K.Yonebayashi , and N. Saito. 1992
Effect of phenolic acids on the growth and occurrence of sterility in cnop
plants. pp: 358-369. In: K. Kyuma, P. Vijarnsorn, and A. Zakaria (Eds).
Coastal lowland ecosystems in southern Thailand and Malaysia. Showado-printing
Co. Skyoku. Kyoto.
Tan. 1993. Principles of Soil Chemistry.
Marcel Dekker, Inc. New York. 362pp.
Tim Institut Pertanian Bogor, 1974. Laporan
survai produktivitas tanah dan pengembangan pertanian daerah Palangka Raya,
Kalimantan Tengah. Bogor.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton.
1985. Soil Fertility and Fertilizers. 4 th ed. The Macmillan Publ. Co. New
York. 694p.
Tsutsuki, K. 1984. Volatile products and
low-molecular-weight products of the anaerobic decomposition of organik matter.
Inter. Rice Res. inst, Soil Organik Matter. Pp: 329-343
Tsutsuki, K. and F.N. Ponnamperuma. 1987.
Behavior of anaerobic decomposition products in submerged soils. Soil Sci. and
Plant Nutr. 3(1):13-33.
Tsutsuki, K. and R. Kondo. 1995.
Lignin-derived phenolic compounds in different types of peat profiles in
Hokkaido. Japan. Soil Sci. and Plant Nutr. 41(3): 515-527.
Wang, T.S.C., T.T. Yang, and T.T. Chang. 1967.
Soil phenolic acids as plant growth inhibitors. Soil Sci. 103:239 –246.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1988. Physical and chemical characteristic of peat soil of
Indonesia. IARD J. 10:59-64.
Wild, A. 1990 . The relation of thosphate by
soil : A review . J. soil sci. 1: 221 – 237.
Yusuf, A., E. Rusdi, N. Hasan, dan A. Taher.
1995. Kajian tata air, kalium, dan hara mikro terhadap padi di lahan gambut
dalam. Dalam Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem
Usahatani di Lahan Rawa. Kumpulan Hasil Penelitian. Proyek Penelitian
Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP. Badan Litbang Pertanian.
Post a Comment