KOMUNIKASI
ANTAR BUDAYA
Komunikasi antarbudaya adalah salah
satu konteks terbaru dalam komunikasi. Munculnya komunikasi antarbudaya ini
disebabkan oleh perkembangan lingkungan internasional. Banyak perusahaan Amerika
menjalin bisnis dalam pasar dunia. Banyak di antaranya yang menjadi perusahaan
multinasional (memiliki pusat laba di negara lain). Faktor sosial lain yang
menyebabkan tumbuhnya komunikasi antarbudaya adalah usaha pengembangan Amerika
dalam merayakan perbedaan budaya di dalam negara tersebut, beberapa festival
digelar di Chicago dan Boston dan dihadiri oleh orang-orang dari latar belakang
budaya yang berbeda, mereka berusaha untuk menimbulkn kesadaran dan
sensitivitas terhadap berbagai budaya.
Teori komunikasi antarbudaya
dikembangkan oleh seorang antropolog, Edward Hall - yang mengemukakan teori
dari kedekatan dan jarak sosial – adalah seorang antropolog budaya yang sangat
berpengaruh di bidang komunikasi. Dibuatnya
pasukan perdamaian oleh John F. Kennedy pada awal 60an juga memimpin sebuah
peningkatan minat dan kebutuhan untuk pengetahuan tentang bagaimana orang-orang
dari berbagai budaya dapat berkomunikasi dengan efektif. Sejak awal pekerjaan
Hall dan awal penelitian dari pasukan perdamaian, teori dari komunikasi antar
budaya meluas menjadi teori bahasa, media massa, dan konflik antar budaya.
Gudykunst membagi studi komunikasi
antar budaya menjadi sembilan area berbeda, beberapa di antaranya menjelaskan
komunikasi antar budaya yang mengacu kepada komunikasi antar individu atau
kelompok dari budaya yang berbeda atau subbudaya yang berbeda dari sistem
budaya sosial yang sama. Penelitian komunikasi antarbudaya bisa saja
menjelaskan bagaimana orang Amerika dan orang Jepang melakukan negosiasi
bisnis. Komunikasi silang budaya membandingkan kebiasan komunikasi antarbudaya
dari kombinasi orang yang berbeda, jadi taktik negosiasi orang Jepang dan
Amerika akan dapat dibandingkan dan terlihat kontras dalam studi komunikasi
silang budaya.
Komunikasi internasional mengacu
pada studi dari komunikasi media massa di dalam budaya yang berbeda. Misalnya,
penelitian komunikasi internasional bisa saja menjelaskan peran sosial dari
televisi di India. Teori-teori perbandingan komunikasi massa membandingkan
sistem media dari budaya yang berbeda, misalnya India dengan Inggris.
Komunikasi dan hubungan internasional adalah sebuah area dari bidang yang melibatkan studi dari komunikasi
antarabangsa dengan pemimpin politik mereka. Hubungan antara komunikasi dengan
perubahan pilitik sekarang tidak hanya dipelajai oleh ilmuan politik tetapi
oleh sarjana komunikasi.
Perkembangan komunikasi merentangkan
perbatasan antara komunikasi massa dan komunikasi interpersonal. Ini adalah
komunikasi dikaitkan dengan perubahan sosial, seringkali dalam perubahan
negara-negara. Dua jenis perubahan,
internal dan eksternal, mengarah pada perkembangan komunikasi (Fagen, 1966)
dalam model eksternal, perubahan sosioekonomi merubah media, gaya hidup, dan
kesempatan bagi anggota dari sebuah masyarakat. Kemudian, orang mulai melihat
diri mereka dan tempat mereka di dunia ini secara berbeda. Akhirnya perbedaan
pandangan ini menngarah pada sikap yang mempengaruhi sistem politik dari
masyarakat. Model internal dimulai dengan pemilihan strategi politik yang merubah
pola komunikasi. Selanjutnya pola komunikasi mengarah pada persepsi diri dan
pandangan dunia, yang akhirnya mengarah pada perubahan dalam sistem politik,
meskipun tidak memerlukan perubahan yang direncakan oleh pihak yang mengatur
proses pergerakannya. Perkembangan komunikasi mengenali bahwa komunikasi dapat
digunakan untuk memfasilitasi perubahan sosial.
Konsep Kunci
dalam Komunikasi Antar Budaya
Lambang
Verbal
Komunikasi antarbudaya, sebuah studi
dari komunikasi antara individu dan kelompok dengan budaya yang berbeda,
melibatkan beberapa area penting dari eksplorasi. Sebagai anggota sebuah budaya
tertentu, seseorang mempelajari pola tertentu dari memahami dunia melalui
sistem lambang seperti bahasa dan perilaku nonverbal. Sementara seluruh anggota
dari sebuah budaya dapat berbicara bahasa yang sama, anggota dari budaya yang
tidak dominan dapat mengembangkan lambang mereka sendiri. Lambang-lambang ini
mempersatukan mereka terhadap budaya dominan dan memperkuat identitas mereka
sebagai anggota dari subbudaya tersebut. Saat budaya dominan mengadopsi
lambang-lambang tersebut, mereka tidak lagi melayani maksud awal, jadi mereka
mengubahnya. Sebagai contoh dari fenomena ini dapat dilihat dalam perubahan
seorang remaja gaul saat mereka diadopsi oleh orang dewasa.
Hipotesis Whorfrian
Yang terpenting dari bahasa dalam
mempengaruhi sebuah budaya adalah poin penting dari teori relativitas
linguistik dari Edward Sapir (1958, 1964) dan muridnya Benjamin Lee Whoff
(1956). Hipotesis Whorfian menunjukkan bahwa bahasa membentuk kebudayaan dan
pola pikir individu. Sebagai contoh, di Inggris kita dapat mengatakan “brother”
atau “sister” ketika berbicara dengan saudara kandung. Kita tidak perlu
menspesifikasikan umur kecuali kalau kita ingin membedakan antara dua saudara perempuan
atau untuk menekankan umur hubungan, seperti “older sister”. Akan tetapi, di
Mandarin, Cina, tidak ada istilah umum untuk “brother,” “sister,” “uncle” atau
“aunt.” Mungkin disebabkan oleh yang lebih penting dari hubungan keluarga
tertentu dalam budaya cina. Satu-satunya
kata yang belaku untuk kerabat yang menentukan hubungan yang tepat seperti “big
(kakak tertua) /older sister”, “small (lahir setelah kakak pertama tetapi masih
lebih tua dari yang mengatakan) older sister,” “younger brother” dan “uncle on
my mother’s side.”
Hipotesis Worfian mengindikasikan
bahwa bahasa mempengaruhi cara komunikator melihat dunia. Karena orang Cina
harus membuat perbedaan hubungan mental untuk berbicara bahasa Mandarin, mereka
cenderung lebih peka terhadap perbedaan-perbedaan dalam hubungan keluarga
tertentu daripada komunikator yang berbehasa Inggris.
Namun, karena orang Inggris memiliki
banyak kata untuk warna daripada Cina, Cina jadi lebih cenderung melihat nuansa
warna dari komunikator Inggris.sebagai contoh, pikirkan seluruh kata yang
merupakan sinonim dari merah atau merupakan jenis-jenis dari merah: pink, pale
pink, salmon pink, dan lain-lain. Mandarin hanya memiliki satu kata untuk
merah, dengan tambahan sebutan untuk nuansa terang atau gelap.
Lambang
Nonverbal
Ada banyak cara yang dapat digunakan
untuk memulai interaksi nonverbal, memperjelas hubungan, percakapan langsung,
ekspresi untuk menunjukan emosi, mengakhiri percakapan secara substansial dari
budaya ke budaya. Contoh di bawah ini akan menjelaskan secara singkat beberapa
area penting dari perbedaan komunikasi nonverbal yang bervariasi dengan budaya
yang berbeda.
Ekman dan Friesen (1969) mengatakan
lima tipe gerakan tubuh adalah emblem, ilustrator, mempengaruhi
tampilan, adaptor, dan regulaor. Emblem adalah gerakan yang
memiliki tujuan atau arti yang sama dengan kata, dan dengan mudah terjadi
kesalahpahaman (Ekman & Friesen, 1969). Sebagai contoh, saat orang Amerika
ingin memanggil teman mereka, mereka melambaikan tangan (membuka dan menutup
telapak tangannya). Sebagai tambahan orang Amerika selalu menggenggam tangan
mereka diantara bahu dan pinggang ketika teman-teman memanggil, sementara orang
Cina memegang tangan mereka dengan lurus sehingga tangan mereka berada dibawah
pinggang.
Ilustrator – isyarat yang menyertai
kata-kata untuk penekanan – juga bervariasi dari busaya ke budaya. Jakobson
(1972) mendiskusikan kesulitan tentara Rusia dan Bulgaria selama perang di
Turkey pada 1877-78 dalam menyampaikan gerakan yang menandakan “iya”. Saat
ilustrator digunakan sebagai emblem untuk menggantikan kata-kata, tentara
Bulgaria tidak akan pernah yakin apakah saat tentara Rusia menggelengkan kepala
berarti “iya” atau “tidak.”
Perubah penampilan – gerakan tubuh
yang mengekspresikan emosi - mungkin lebih mirip antara budaya dari jenis-jenis
gerakan (Condon & Yosef, 1975), tetapi bahkan perubahan penampilan bisa
mengindikasikan arti yang berbeda. Tersenyum dapat mengindikasikan bahwa orang
Cina sedang mencoba menutupi malu. Morsbach (1982) mencatat bahwa orang Jepang
juga menggunakan senyum dan tertawa untuk menutupi kemarahan, kesedihan, atau
kekecewaan.
Kategori lain dari perilaku
nonverbal yang juga sering dikategorikan adalah kontak mata. Di Amerika, orang
yang menghindari kontak mata bisa diperkirakan malu atau bahkan menghindar dan
tidak dapat dipercaya. Orang Jepang, mengajarkan anak-anak mereka untuk melihat
atasan tidak pada mata karena memandang orang Jepang langsung di mata
kemungkinan menghasilkan efek membuat mereka sangat tegang, karena kebudayaan
tabu telah dilanggar (Morsbach, 1982).
Elemen nonverbal dari bahasa
termasuk nada, stres, dan kualitas suara yang menyediakan sumber tambahan dari
perbedaan antar budaya. Sebuah bahasa adalah salah satu yang bergantung pada
kombinasi nada, stres, dan pola suara untuk mengindikasikan antar suara.
Sebagai contoh, di Mandarin Cina, mai
dengan nada tinggi berarti “membeli” sedangkan mai dengan nada rendah berarti “menjual.” Bahasa nada seperti
Mandarin, Taiwan, dan Kanton berbicara dengan variasi vokal dibandingkan dengan
bukan bahasa nada seperti Inggris.
Aturan dan Peranan
Disamping lambang lisan dan tak lisan, kelompok anggota
mempelajari kelakuan yang dianggap tugas dan peraturan untuk menggunakan simbol-simbol tersebut.
Tugas seorang isteri atau suami di Amerika pastilah sekarang sangat-sangat
berbeda sekarang jika dibandingkan dengan tiga puluh tahun yang lalu ketika
sebagian besar wanita mengasuh anak di
rumah dan sebagian besar pria menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga
dalam sisi ekonomi. Budaya yang berbeda tentang bagaimana para anggota
diharapkan dapat memnuhi perannya untuk mencapai harapan yang diinginkan.Beberapa kebudayaan
dan tugas memperbolehkan kelonggaran dari pada yang lainnya. Walaupun peran
isteri telah berubah di Amerika Serikat, peran ibu harus tetap sama dengan tiga
puluh tahun yang lalu, menciptakan fenomena "Superwoman" atau
”Supermom," wanita berusaha untuk
memenuhi kedua tersebut yaitu peran tradisional ibu dan peran perempuan baru
dalam bisnis maupun eksekutif. Ketik
peran berganti atau tidak jelas, hal ini menimblukan atau menciptakan stres
bagi orang yang mencoba mengadopsi peran ini.
Di
dalam situasi komunikasi antar budaya, pribadi dari kebudayaan lain mungkin
akan berpikiran jelek karena mereka tidak tahu perilaku yang ada dan berbeda
dengan perilaku mereka.
Kebudayaan Konteks Rendah dan Tinggi
Peran dan
peraturan untuk perilaku sosial sudah dapat dilihat di beberapa budaya
dibandingkan dengan yang lain. Edward Hall (1966) membuat kontribusi yang
sangat penting untuk komunikasi antar budaya ketika ia menghargai budaya
konteks rendah dan tinggi sebagai dasar dari pola komunikasi mereka. Di dalam
komunikasi konteks tinggi, kebanyakn informasi disampaikan melalui pesan yang
dikodekan langsung fisik atau mental dari peran, peraturan, dan nilai. Di dalam
komunikasi konteks rendah, kebanyakan informasi disampaikan melalui pesan
secara eksplisit atau secara verbal. Kedua hal tersebut merupakan cara
penyamapain pesan dari kebudayaan konteks rendah dan tinggi di semua budaya,
Hall mempercayai salah satu dari itu untuk mendominasi. Contohnya, budaya
Amerika adalah budaya konteks rendah: orang Amerika mengungkapkan konflik atau
pendapat secra terbuka. Bangsa oriental misalnya Cina dan Jepang cenderung
memiliki budaya konteks tinggi, di mana banyak interpretasi tergantung pada
intuisi atau akal sehat, pemahaman tentang apa yang dimaksud, bukan pada
kata-kata tertentu yang diucapkan (Ting Toomey, 1984). Di kebudayaan Cina dan
Jepang, ketika ada yang tidak setuju dengan sebuah keputusan, maka akan diam.
Tidak sopan juga mengutarakan ketidaksetujuan dengan terbuka. Dengan demikian
di Cina diam merupakan ungkapan dari ketidaksetujuan terhadap sesuatu, di
Amerika, diam berarti setuju. Penafsiran seperti ini pada dasarnya berbeda
untuk perilaku yang sama (diam) menambahkan komplikasi ke proses negosiasi
antarbudaya (Womack. 1983)
Perbedaan-perbedaan Nilai
Perbedaan
sumber nilai dari tingkat lesulitan dan ambiguitas dalam komunikasi antar
budaya. Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) mengidentifikasi lima masalah yang
berbeda, di mana semua nilai-nilai masyarakat berkembang dan terpengaruh
interaksi sehari-hari. (1) Pertama adalah masalah pembagian antara yang baik
dan buruk di dalam kehidupan. Apakah manusia lebih banyak bersikap baik, buruk,
atau percampuran dari keduanya. (2) Masalah kedua adalah hubungan manusia
dengan alam. Apakah manusia hidup berdampingan dengan alam, bersinggungan
dengan alam, atau hidup secara harmonis di anatara keduanya. (3) Waktu adalah
hal penting yang di dalam sikap nonverbal, sebagaian budaya menruh waktu di
tempat yang cukup tinggi di dalam tradisi sementara yang lain mengasosiasikan
perubahan dan masa depan dengan kemajuan . Bisakah yang lain hidup di masa
sekarang, memberikan sedikit perhatian untuk yang sudah lalu dan untuk masa
depan. (4) Masalah yang keempat adalah menjadi,melakukan, dan cocok. Para
penganut budaya yang bernilai
“menjadi” percaya spontanitas
dari individu adalah aktifitas yang paling penting. Mereka yang menganut nilai “melakukan” menekankan aktifitas di
luar individu. Komunitas Amerika adalah
contoh dari budaya “melakukan”. Hal
pertama yang akan Anda tanyakan kepada sesorang yang baru sekali Anda temui
dalam cocktail party adalah “Apa
kabarmu?” Itu adalah tipe dari nilai budaya “menjadi cocok”, tipe budaya ini
menekankan kepada siapa atau perubahan atau pertumbuhan seseorang, bukan
aktivitas yang dilakukan orang yang bersangkutan. (5) Pertanyaan terakhir terkait dengan
hubungan antara individu kepada masyarakat. Nilai-nilai budaya individualistis
mengandung nilai otonomi individu. Budaya yang menekankan pada silsilah
keluarga dan nenek moyang atau kelompok yang ajeg dari waktu ke waktu, mereka
mengatakan nilai keturunan atau silsilah.
Nilai-nilai keturunan budaya juga menghargai lebih dari individu, tetapi
budaya berfokus pada kelompok-kelompok , seperti ras atau etnis atau kelompok
agama.
Etnosentrisme
Stereotipe. Karena orang dari kebudayaan
khusus membagi kode etik nilai dan verbal dan nonverbal . mereka memiliki
kecenderungan untuk menjadi etnosentris untuk menilai kelompok lain berdasarkan
kategori dan nilai yang mereka anut daripada terbuka terhadap kebudayaan yang
berbeda. Stereotipe adalah “ percaya pada kelompok individual atau objek” ( Ruhy. 1976, p. 27 )
didasari oleh opini yang dikeluarkan daripada informasi tentang sesuatu yang
lebih spesifik. Stereotipe mengizinkan kita untuk mengatur informasi yang tidak
jelas lebih cepat: dengan menggunakan stereotipe kita dapat merespon
kepercayaan/profesor tanpa menjadi familiar terhadap setiap kepercayaan/profesor tersebut. Dengan menggunakan stereotipe kita
dapat bertindak dengan dasar informasi yang sedikit: dalam hal ini kehendak
orang tersebut.. Setelah kita mengetahui setiap profesor dan bagaimana
peraturan yang dia buat untuk berinteraksi dengan muridnya dan untuk menyetujui
tugas-tugas. Kita dapat membedakan tingkah laku kita. Bahaya dari stereotipe
adalah kita tidak akan pernah mendekati mereka untuk mengetahui seseorang
sebagai seorang induvidu. Dengan menyikapi anggota kelompok mengikui ide yang
kita percaya adalah”tipe dari kelompok tersebut. Kita tidak akan pernah
mengetahui bagaimana seseorang berbeda dengan anggota lainnya atau menyadari
bahwa stereotipe kita tidak tepat.
Prasangka. Jika kita menyangka. Kita
menyangka setiap orang dengan stereotipe sebelum mengetahui orang tersebut.
Prasangka menghasilkan penyingkapan
selektif, persepsi, dan persepsi yang peka ( Ruhly, 1976 ). Penyingkapan secara
selektif maksudnya adalah kita menyingkap diri kita sendiri kepada pesan yang
kita percaya. Biasanya kita menghindari pesan yang kita sangka dan percaya
bahwa “ tidak pantas untuk didengar” jika Anda mempunyai perasaan yang kuat
kepada salah satu kandidat politikus Anda tidak akan mendengarkan politikus
lain ( kecuali Anda akan berpidato untuk menjatuhkannya ), fenomena yang sama
juga terjadi pada pemisah khusus antara komunikasi antar budaya. Karena kita
biasanya mempunyai perbedaan kebudayaan dengan mereka yang berasal dari
kebudayaan lain atau subkebudayaan dari orang yang berasal dari kelompok
sendiri. Kita biasanya akan menghindari memamerkan diri sendiri untuk pesan
yang baru dan berbeda. Dengan memutuskan diri kita dari informasi yang baru
kita memperkuat prasangka dan menghindari bahwa stereotipe merupakan hal yang
salah.
Perceptual Barriers. Perspektif yang selektif juga mempengerahui komunikasi dengan orang lain
dari kebudayaan yang berbeda. Karena kebudayaan sendiri memberikan kita
kategori mental dan karena stereotipe kita dan prasangka dapat “mengeras” kategori tersebut dan membuat mereka kebal
kepada informasi yang baru, kita menerima informasi baru dalam keadaan cara
pandang kita yang kuno dalam melihat dunia. Kita dapat mengabaikan aspek
positif dari pertemuan perbedaan kebudayaan dan hanya memperhatikan hanya
kepada informasi yang sesuai denga stereotipe/ prasangka kita. Kita biasanya
suka menggunakan pertahanan dari perspektif yang selektif jika kita dijelaskan
terhadap pesan yang berbeda dengan keinginan kita tidak ingin mendengarkannya.
Kepekaan Persepsi merupakan
perspeksi yang menghasilan saat seseorang menjelaskan pesan yang disampaikan
cukup sering dengan seting sebagai musuh. Pesan yang pertama terdengar
mengesalkan akan membuat kita semakin marah saat diucapkan berkali-kali.
Itulah,yang menyebabkan julukan untuk suatu
ras terkadang menyakitkan karena kepekaan perspeksi.
Rich ( 1974 ) mengindifikasi lima tipe kategori dari pernyataan negatif yang
merintangi komunikasi budaya yang berbeda antara kelompok ras di US. Dia
menemukan anggota dari kelompok Chicano, Africa Amerika, dan Native Amerika
biasanya tersinggung oleh pernyataan ini. (1) pernyataan stereotipe tentang
kelompok ras. (2) pernyataan tentang refleksi dari kurangnya simpati kepada
kelompk minoritas yang mengkomplain tentang “Pembuktian” (3)pernyataan
yang merendahkan.(4) pernyataan tentang kondisi seperti “squaw” yang merupakan
wanita yangberwarna, dan(5) pernyataan yang mereflesikan hal-hal yang dilakukan
anggota dari kelompok majoritas untuk melewati pemisah etnik, seperti “ Pamanku
karena pernikahan menjadi orang Chicano”.
Pelatihan Antar Budaya
Banyak teori
yang mempelajari komunikasi antar budaya untuk membantu seseorang melewati
penghalang agar komunikasinya menjadi efektif. Dua keahlian atau perilaku
adalah hal yang penting di dalam komunikasi antar budaya: empati dan kemampuan
untuk keluar dari kebudayaan sendiri untuk menyadari perbedaan di dalam situasi
yang membingungkan (Ruhl, 1976). Empati adalah kemampuan untuk mengetahui dan
merasakan perasaan orang lain. Tipe pertama, pelatihan kebudayaan yang spesifik,
biasanya diberikan kepada seseorang yang akan tinggal atau bekerja di dalam
kebudayaan yang berbeda dari diri mereka. Tujuan dari pelatihan ini adalah
untuk memberikan pengetahuan tentang aturan umum, peranan, nilai, dan pola
interpretatif kepada orang-orang yang suka berpindah-pindah daerah.
Di
lain pihak, pelatihan budaya secara umum meliputi kepekaan individu untuk
mengetahui aturan dan norma kebudayaan mereka sendiri dan mengidentifikasikan
kategori umum dari perbedaan asimilasi budaya seperti perbedaan dalam kode-kode
verbal ataupun nonverbal. Orang menjadi lebih baik di dalam komunikasi antar
budaya ketika mereka lebih fleksibel dalam menduga motif atau arti dari
perilaku orang lain. Mereka lebih peduli dengan kemungkinan yang berbeda
interpretasi komunikasi.
BEBERAPA TEORI REPRENSENTATIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Walaupun teori
komunikasi yang mempelajari komunikasi
antarbudaya masih terbilang baru, tapi teori dari komunikasi antarbudaya sudah
berkembang dengan pesat. Ini sangat menarik untuk membuat tanda di beberapa
teori pada bab-bab sebelumnya yang telah diadaptasi untuk membantu masalah atau
untuk menjelaskan sesuatu di dalam komunikasi antarbudaya. Untuk mengingatkan
di dalam bab ini akan dijelaskan lagi mengenai teori yang telah dipilih untuk
mengilustrasikan perbedaan di dalam teori yang membangun antara hukum, aksi
dari manusia, and sistem perspektif.
Hukum yang Mendekati dan Berlaku Untuk Komunikasi Antar Budaya
Teori Berger dan Calabrese (1975) Teori Pengurangan Ketidakpastian, mengasumsikan interaksi, tujuan yang penting dari komunikasi adalah untuk
mengurangi ketidakpastian tentang teman bicara.
Perilaku di dalam komunikasi pada permulaan adalah mengenai hubungan
interpersonal adalah hal utama untuk menemukan informasi tentang yang orang
lain dan memberikan informasi yang relefan tentang diri sendiri dengan tujuan
untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengkontrol hubungan. Teori ini kelihantannya cocok untuk khusus
menjelaskan tentang pertemuan pertama di dalam komunikasi antar budaya.
Gudykunst
dan Nishida (1984) memberikan alasan tentang teori ini, teori ini sangatlah
umum untuk menjelaskan komunikasi antara budaya dan antara orang yang berbeda
kebudayan. Beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya dan teori
berasal dari teori ini yang mendukung secara penuh atau sebagian dari
penelitian. Dari semuanya, penelitian
menemukan perbedaan budaya yang menggunakan strategi pengurangan
ketidakpastian.
Beberapa
teori dari teori ini merupakan ketidakpastian dan tori ini sangat baik digunakan
untuk interaksi awal, perubahan perilaku seseorang saat memulai suatu hbungan
(Gudykunst, 1985)
Gudykunst, Yang, dan
Nishida (1985) mengembangkan penyelidikan sebelumnya dalam dua cara: (1) Mereka
mempelajari anggota dari tiga budaya (Amerika Serikat, Jepang, dan Korea) dan
(2) Membandingkan perilaku komunikasi
kepada kenalan, teman, dan teman berkencan. Para penulis merasa ini penting karena Teori
Pengurangan Ketidakpastian ini dikembangkan dari penelitian didasarkan pada
peserta kulit putih hanya dalam satu negara, Amerika Serikat. Mereka ingin tahu
apakah akan berlaku untuk teori budaya yang berbeda dan untuk lebih banyak
jenis hubungan intim dari percakapan dengan orang asing, sehingga mereka
menguji model asing ini, dalam sebuah percobaan yang melibatkan siswa dari tiga
negara. Dengan menggunakan kuesioner, peserta menggambarkan komunikasi mereka
dengan baik seorang kenalan dan seorang teman yang berjenis kelamin sama dan
dengan pasangan kencan dari lawan jenis. Analisis statistik menunjukkan bahwa
Teori Pengurangan Ketidakpastian itu dikonfirmasi oleh data untuk kenalan,
teman, dan hubungan pacar dalam tiga budaya. Dengan demikian, percobaan
menyediakan dukungan untuk memperluas model luar interaksi awal untuk lebih
banyak jenis hubungan intim.
Memperluas
teori-teori dalam cara ini adalah salah satu metode penting bangunan atas
penelitian sebelumnya. Namun, Gudykunst dan rekan-rekannya mencatat bahwa
Teori Pengurangan Ketidakpastian tidak memungkinkan peneliti untuk memeriksa
perubahan-perubahan dalam hubungan komunikasi sebagai berkembang dari waktu ke
waktu, juga tidak mempertimbangkan konteks sosial yang lebih luas, misalnya
bagaimana relasional mitra yang terlibat dalam setiap komunikasi
lain jaringan. Para penulis merasa konteks sosial yang seharusnya
sangat penting dalam konteks budaya tinggi (Hall, 1966) seperti Korea dan
Jepang, di mana konteks ini sangat penting dalam memperkirakan perilaku orang
lain. Individu-individu yang berbagi teman dan kenalan (yakni, yang sangat
terlibat dalam satu sama lain dan jaringan komunikasi sosial) dapat lebih mampu
meramalkan perilaku satu sama lain berdasarkan informasi seperti norma-norma
dan nilai-nilai yang diperoleh dari jaringan teman daripada pengetahuan
langsung tentang individu secara spesifik. Percobaan ini mengukuhkan
Teori Pengurangan Ketidakpastian, diperluas ke budaya baru dan relasional
konteks dan saran modifikasi, terutama untuk konteks budaya tinggi.
Gudykunst,
Nishida, Koike, dan Shiino (1986) memutuskan untuk menyelidiki secara lebih rinci
peran bahasa dalam pengurangan ketidakpastian. Menggunakan peserta dari
universitas Jepang, para peneliti menyelidiki apakah bahasa yang percakapan
terjadi dipengaruhi metode untuk mengurangi ketidakpastian. Seperti
Gudykunst dan Nishida (1984), para peneliti meminta peserta untuk membayangkan
bahwa mereka sedang diperkenalkan kepada mahasiswa baru di universitas mereka (again. The “bogus stranger” technique). Mahasiswa
baru itu baik Jepang atau Amerika Utara dan pertemuan itu akan berlangsung baik
di Jepang atau bahasa Inggris. Seperti dalam percobaan oleh Gudykunst,
Yang, dan Nishida (1985), sedangkan hasilnya cenderung untuk mengkonfirmasi
teori, mereka juga menunjukkan bahwa Teori Pengurangan Ketidakpastian mungkin
harus diubah untuk konteks budaya tinggi di mana orang-orang asing mengetahui
latar belakang dan berbagi jaringan komunikasi serta secara langsung
berkomunikasi dengan orang asing, mungkin penting tentang cara tambahan untuk
mengurangi ketidakpastian.
Berdasarkan
studi sebelumnya, Gudykunst, Nishida, Koike, dan Shiino (1986) menyarankan lima
hipotesis baru mengenai pengurangan ketidakpastian dalam pertemuan antara
orang-orang asing dari budaya konteks tinggi dan budaya konteks
rendah. (1) ketidakpastian berbeda dalam tinggi dan rendah konteks
budaya. Ketidakpastian pengurangan dalam konteks budaya tinggi melibatkan
orang-orang asing memprediksi apakah akan mengikuti norma-norma kelompok atau
budaya. Dalam konteks budaya rendah, pengurangan ketidakpastian memprediksi
melibatkan perilaku individu. (2) Anggota konteks budaya tinggi meramalkan
berfokus pada kepatuhan terhadap norma-norma ketika berbicara bahasa asli
mereka: ketika berbicara dalam bahasa Inggris, mereka mencoba untuk memprediksi
perilaku individu, seperti konteks rendah pembicara asli bahasa
Inggris. (3) Mengetahui latar belakang seseorang atau mempunyai
teman-teman dapat mengurangi ketidakpastian bagi anggota atau konteks budaya
tinggi. Oleh karena itu, tidak memiliki kontak dengan jaringan komunikasi
orang asing sebelum interaksi awal meningkatkan ketidakpastian bagi budaya
konteks tinggi, tetapi tidak untuk budaya konteks rendah di mana norma-norma
apalagi memberikan informasi. Alasan yang sama digunakan untuk menjelaskan
hubungan dicatat dalam dua hipotesis yang mengikuti. (4) tidak mampu
berempati dengan orang asing akan meningkatkan ketidakpastian dalam konteks
budaya tinggi, tapi tidak dalam konteks budaya rendah. (5) Kurangnya
pengetahuan tentang latar belakang orang asing akan meningkatkan ketidakpastian
dalam konteks budaya tinggi, tapi tidak dalam konteks budaya rendah.
Gudykunst,
Chua, dan Gray (1987) menyelidiki lebih lanjut efek dari perbedaan budaya pada
Teori Pengurangan Ketidakpastian dengan mempelajari orang-orang dari berbagai
latar belakang budaya. Salah satu aspek penting adalah tingkat
ketidaksamaan antara siswa latar belakang budaya, dan budaya dari negara-negara
Amerika, dimana mereka tinggal dan belajar. Responden menyelesaikan kuesioner
tentang komunikasi mereka dengan salah seorang teman atau kenalan dari Amerika
Serikat. Semua kenalan atau teman-teman itu berjenis kelamin sama sebagai
mahasiswa. Hasilnya menunjukkan bahwa ketidakmiripan budaya memiliki
kurang berpengaruh pada hubungan komunikasi sebagaimana
dikembangkan. Temuan ini dikonfirmasi oleh penelitian sebelumnya
Gudykunst, Nishida, dan Chua (1986), yang disajikan di atas.
Gudykunst
dan Hammer (1987) menyusun pengetahuan yang didapat dari penelitian terhadap
pengurangan ketidakpastian dalam situasi antar untuk membentuk teori antar
mereka beradaptasi. Mereka reformulasi dari teori ide menambah kecemasan dengan
konsep pengurangan ketidakpastian untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana
orang-orang menyesuaikan diri dengan budaya yang berbeda. Teori ini
terdiri dari 24 aksioma dan 50 teorema yang hanya dirangkum di
sini. Misalkan seorang asing memasuki budaya asing tuan rumah
kepadanya.Orang asing akan merasa tidak aman (pengalaman kecemasan) dan tidak
yakin tentang cara berperilaku dalam pengaturan baru (pengalaman
ketidakpastian). Orang asing yang memiliki identifikasi lebih kuat dengan
budaya asli mereka sendiri dan yang mengharapkan untuk tinggal lebih permanen
dalam kebudayaan setempat akan mengalami lebih banyak kecemasan dari mereka
yang lebih lemah identifikasi budaya atau mereka yang merencanakan kunjungan
sementara. Dalam keadaan apa yang akan orang asing itu jatuh dalam
kecemasan dan ketidakpastian? Tindakan atau peristiwa apa yang mungkin
membuat dia bahkan lebih cemas dan tidak pasti?
Menurut
teori dan penelitian sebelumnya, beberapa kondisi yang akan membuat orang asing
merasa lebih nyaman dan percaya diri. Jika orang-orang asing 'budaya asli
serupa dengan kebudayaan setempat, orang-orang asing akan membuat prediksi yang
lebih akurat dan mengurangi kecemasan lebih daripada jika budaya sangat berbeda. Orang
asing juga akan merasa lebih nyaman jika budaya asli toleran terhadap berbagai
perilaku (memiliki kecenderungan pluralis). Orang-orang asing akan dapat
menjelaskan dan memprediksi secara lebih akurat orang dengan budaya asli
'perilaku ketika mereka: belajar tentang kebudayaan setempat, bentuk lebih
akurat dan stereotip positif, menggunakan strategi pengurangan ketidakpastian
yang tepat, lebih baik kontak dengan orang-orang dari kebudayaan setempat, yang
tertarik pada dan bentuk hubungan intim dengan tuan rumah, tanpa kata-kata
mengungkapkan keinginan mereka untuk afiliasi, meningkatkan jumlah jaringan
komunikasi bersama dengan tuan rumah, dan menjadi kompeten dalam bahasa tuan
rumah. Jika orang-orang asing terus sikap prasangka atau etnosentrisme terhadap
kebudayaan setempat, atau mendeteksi sikap seperti di tuan rumah, mereka akan
mengalami lebih banyak kecemasan dan ketidakpastian.
Gudykunts
dan Hammer (1987) telah mengidentifikasi empat pola adaptasi antar budaya
berdasarkan aksioma dan teorema. Orang asing dengan kecemasan yang tinggi
dan ketidakpastian yang tinggi mungkin tidak disesuaikan dengan budaya tuan
rumah, sementara mereka yang rendah dan rendah kecemasan ketidakpastian telah
beradaptasi sepenuhnya. Orang asing yang menjaga diri mereka sendiri dan
memiliki sedikit interaksi dengan anggota kebudayaan setempat memperlihatkan
pola kecemasan rendah tetapi ketidakpastian tinggi.Mereka nyaman karena mereka
bergaul dengan orang lain tentang budaya asli mereka, tetapi mereka memiliki
kesulitan menjelaskan dan memperkirakan perilaku tuan rumah. Orang asing
yang memiliki kecemasan tinggi tetapi rendah ketidakpastian dapat memprediksi
dengan baik tapi masih tidak nyaman ─ mungkin karena mereka mengerti tapi tidak
menyukai kebudayaan setempat. Gudykunst dan Hammer percaya bahwa beberapa
pola-pola adaptasi antar memperkuat teori mereka dibandingkan dengan
teori-teori yang hanya menyarankan sebuah kontinum mulai dari rendah ke tinggi
tingkat adaptasi.
Program
penelitian dan rekan-rekannya Gudykunst menerapkan Teori Pengurangan
Ketidakpastian untuk antarkomunikasi menawarkan contoh yang sangat baik dari
bangunan teori. Pertama, studi yang dijelaskan di atas menggambarkan
bagaimana para sarjana dalam satu konteks mungkin meminjam atau mengadaptasi
teori yang menjanjikan untuk mempelajari konteks komunikasi yang
berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh tim ini umumnya dikonfirmasi Teori
Pengurangan Ketidakpastian tetapi juga menyarankan beberapa perubahan untuk
budaya konteks tinggi dan hubungan yang lebih intim. Dengan demikian,
Gudykunst dan rekan-rekannya telah memperluas Teori Pengurangan Ketidakpastian
tidak hanya di luar konteks aslinya, tetapi juga di luar hubungan tahap awalnya
bahwa teori menjelaskan. Hipotesis baru yang disarankan oleh Gudykunst,
Nishida, Koike, dan Shiino (1986) tak diragukan lagi akan diuji dalam percobaan
yang dilakukan lebih lanjut oleh tim ini komunikasi para sarjana.
Sebuah Aksi Manusia Pendekatan Teori Komunikasi
Antarbudaya
Menggunakan
Teori Pengelolaan terkoordinasi Arti diuraikan dalam Bab 3, Barnett Perace dan
murid-muridnya telah mengeksplorasi perbedaan dalam aturan penafsiran yang
digunakan oleh anggota kebudayaan yang berbeda. Wolfson dan Norden (1982)
tertarik untuk mengeksplorasi "makna dan implikasi dari konflik
interpersonal dalam budaya Cina dan Amerika (p.1). Para peneliti
menunjukkan antara keduanya Cina dan siswa Amerika salah satu dari dua segmen
dari sebuah film yang disajikan rutinitas sehari-hari dan hubungan antara guru
dan siswa di sekolah tinggi Amerika. Sebuah segmen yang menunjukkan
pertengkaran antara murid dan guru adalah "konflik tinggi"
episode. "Konflik-rendah" disajikan episode percakapan antara
murid dan guru tentang rencana perguruan tinggi. Peserta dalam
menyelesaikan percobaan kuesioner tentang tingkat konflik dalam film dan setuju
atau tidak setuju dengan pernyataan seperti itu sebagai, "Ini adalah
sebuah percakapan tegang." Kemudian mereka diminta untuk berpura-pura
bahwa mereka adalah pelajar SMA ditampilkan dalam film. mereka menulis apa
yang akan mereka katakan selanjutnya, kemudian menyelesaikan kuesioner tentang
berapa banyak kebebasan mereka merasa mereka harus memilih
jawaban. Sebagai contoh, kontras pernyataan-pernyataan seperti,
"Situasi yang saya temukan diri dalam menuntut saya untuk menanggapi
dengan pesan khusus ini," dan "Aku akan respon ini dengan cara agar
yang akan mempunyai pola percakapan
seperti yang saya inginkan," itu dimasukkan dalam kuesioner.
Kuesioner
tentang tanggapan kebebasan dimasukkan untuk mengukur kekuatan konsep logis.
Anda mungkin ingat dari bab 3 bahwa dua jenis peraturan, aturan definisi dan
aturan perilaku, sangat penting bagi Teori Pengelolaan Terkoordinasi
Arti. Definisi aturan mengatakan kepada orang bagaimana kata atau frase
harus ditafsirkan. Kirim aturan perilaku aktor apa yang harus mereka
lakukan dalam suatu situasi tertentu. Misalnya, jika peserta di THS
percobaan memiliki aturan perilaku yang mengatakan, "mahasiswa harus
bersikap sopan kepada para guru," mungkin siswa ditunjukkan pada kuesioner
di atas bahwa siswa akan bertindak dengan cara tertentu untuk "bersikap
sopan." gaya logis mengacu pada kekuatan pengaruh yang menaing dan
aturan terhadap perilaku. Jadi, misalnya, jika siswa aturan tentang
bersikap sopan kepada guru yang relatif lemah kekuatan logis, siswa akan
memiliki beberapa pilihan untuk memilih dari dalam memilih perilaku yang
sesuai. Jika aturan itu logis kuat gaya ( "Siswa harus selalu
bersikap sopan kepada guru apa pun yang terjadi"), siswa akan relatif
sedikit kebebasan dalam memutuskan bagaimana harus bersikap.
Analisis
statistik menunjukkan perbedaan budaya yang kuat antara siswa Amerika dan Cina,
baik dalam persepsi konflik dan dalam kekuatan logis aturan perilaku
mereka. Cina (yang umumnya ekspresi menghindari konflik terbuka dan
menunjukkan rasa hormat kepada pihak berwenang, terutama guru) dianggap episode
konflik lebih harmonis, menyenangkan, dan ramah daripada orang Amerika
itu. Kekuatan logis dalam situasi itu juga lebih kuat daripada Amerika,
tanggapan Cina memilih berdasarkan efek diantisipasi guru sebuah percakapan (
"Aku akan menanggapi dengan cara ini untuk mendapatkan pola percakapan
pergi seperti yang saya inginkan," misalnya ). Mahasiswa Cina
merasa kurang bebas untuk memilih tanggapan.Temuan yang terkait adalah bahwa
mahasiswa Cina merasa mereka harus bertindak dengan cara tertentu terlepas dari
tindakan guru. Amerika, lebih dari Cina, merasa bahwa mereka harus
mengelola percakapan untuk meningkatkan citra diri mereka.
Dalam
percobaan terkait, Wolfson dan Pearce (1983) meneliti perbedaan antara Cina dan
Amerika aturan untuk pengungkapan diri. Hipotesis mereka bahwa anggota budaya
Asia Timur Jauh berbeda dari Amerika dalam apa yang mereka anggap rahasia atau
informasi publik. Barnlund (1975) menemukan bahwa orang Amerika lebih mungkin
daripada Jepang mengungkapkan diri dalam berbagai konteks. Alexander,
Cronen, Kang, Tsou, dan Banks (1980) menemukan bahwa lebih mengandalkan Cina
(tak terucapkan) informasi demografis untuk mengenal orang lain, sedangkan
orang Amerika lebih mengandalkan verbal pertukaran informasi pribadi. (Pengamatan
ini mirip dengan perbedaan dalam pengurangan ketidakpastian tinggi dan konteks
budaya rendah dicatat oleh Gudykunst dan rekan-rekannya.) Wolfson dan Pearce
(1983) ingin menjelajahi perbedaan dalam persepsi Cina dan Amerika pengungkapan
diri dan dalam pengaruh pengungkapan diri pada komunikasi
selanjutnya. Para peneliti telah peserta membaca bagian-bagian dari
percakapan yang ditulis dalam bahasa Inggris. Rendah percakapan
pengungkapan sikap prihatin tentang musik: pengungkapan tinggi terlibat percakapan
siswa mengungkapkan keraguan tentang kecukupan seksual sebagai akibat dari
sebuah insiden yang terjadi pada musim semi. Seperti dalam percobaan yang
dijelaskan di atas mahasiswa peserta mengisi kuesioner menggambarkan bagaimana
mereka melihat percakapan, mendakwa apa yang akan mereka katakan sebagai
tanggapan terhadap keterbukaan diri, dan mengungkapkan bagaimana mereka merasa
bebas untuk memilih apa yang harus dikatakan selanjutnya. Peserta Cina
dianggap baik dialog sebagai kurang harmonis daripada Amerika. Cina juga
merasa lebih terkendala oleh kekuatan logis aturan mereka dalam percakapan
pengungkapan tinggi daripada Amerika.
Kedua
eksperimen lagi dijelaskan di atas menunjukkan perbedaan antara tindakan
manusia dan undang-undang meliputi pendekatan untuk membangun teori
komunikasi. Ingat bahwa hukum meliputi eksperimen oleh Gudykunst dan
rekan-rekannya yang terlibat responden memilih strategi untuk berinteraksi
dengan orang asing, kenalan, atau teman. Dalam percobaan tindakan manusia,
Wolfson dan rekan-rekannya meminta peserta untuk menulis kata-kata yang
sebenarnya akan mereka katakan dan untuk menunjukkan bagaimana mereka merasa
bebas untuk memilih respons mereka. Ini upaya untuk menjajaki kekuatan
logis dari aturan aturan yang teori unik: ia menyiratkan bahwa, sementara
pilihan terbatas, responden secara sadar menyadari keterbatasan
mereka. Dalam Teori Pengurangan Ketidakpastian percobaan yang dijelaskan
di atas, responden tidak diminta alasan untuk pilihan mereka, karena pilihan
ini yang diduga akan erat dibatasi oleh hukum-hukum sosial (norma-norma) yang
mengatur situasi.Sementara kedua undang-undang dan tindakan manusia peneliti
yang mempelajari pola perilaku dipengaruhi oleh aturan-aturan sosial atau
hukum, penelitian hukum memperlakukan hukum sebagai "diberikan" oleh
masyarakat, sedangkan penelitian tindakan manusia dirancang untuk
mengeksplorasi persepsi individu aturan.
Suatu pendekatan sistem ke teori komunikasi
antarbudaya
Suatu
kontras yang tiba-tiba dapat dilihat di dalam sistem teori komunikasi
antarbudaya oleh Young Kim. Pekerjaan Kim memfokuskan kepada pola komunikasi
imigran Korea di Amerika Serikat. Melalui serangkaian studi, ia telah
menginvestigasi tipe-tipe yang berbeda dari jaringan komunikasi dan
efek-efeknya dalam akulturasi. Karena Kim merupakan salah satu dari peneliti
awal yang menyelidiki hubungan antara komunikasi dan akulturasi, usaha
pertamanya adalah mendeskripsikan kebiasaan komunikasi. Penelitian
deskriptifnya yang ditampilkan dalam studi awalnya diperlukan sebelum teori-teori
dapat mulai memaparkan kebiasaan komunikasi yang terjadi selama proses
akulturasi.
Kim
(1977a) menduga imigran yang berpartisipasi dalam jaringan-jaringan kenegaraan
akan lebih berakulturasi dibandingkan dengan imigran yang hanya terlibat di
dalam jaringan komunikasi imigran itu sendiri. Kim mengembangkan suatu model
komunikasi untuk menjelaskan akulturasi imigran. Sebuah diagram yang mewakili
modelnya adalah gambar di Figure 13.1. Model tersebut mengindikasikan
akulturasi antarbudaya sangat bergantung pada persepsi; Kim memperkirakan
imigran yang terakulturasi untuk mempunyai persepsi yang relatif lebih kompleks
terhadap masyarakat lokal. Empat faktor yang berguna untuk membuat persepsi
yang kompleks: (1) berpotensi untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat
lokal dan mengonsumsi medianya, (2) kompeten di dalam berbahasa bahasa lokal
(Bahasa Inggris), (3) motivasi atau keinginan kuat untuk mempelajari tentang
dan berpartisipasi dalam kebudayaan lokal, dan (4) ketersediaan media massa
(akses ke koran lokal, radio, dan televisi). Empat faktor ini mempengaruhi
variabel hasil – kompleksitas persepsi – melalui pengaruh dua variabel mediasi
atau intervensi. Variabel mediasi memodifikasi efek dari empat variabel kausal
dalam kompleksitas persepsi. Dengan kata lain, model Figure 13.1 bisa dikatakan
demikian: potensi interaksi, kompetensi berbahasa Inggris, motivasi
berakulturasi, dan ketersediaan media massa menciptakan kompleksitas persepsi
melalui pengaruh dari komunikasi interpersonal dan konsumsi media massa.
Kim (1977a) mengetes model akulturasinya
dengan cara melakukan survey menggunakan surat kepada empat ratus keluarga
Korea di Chicago. Survey tersebut meliputi pertanyaan yang dirancang untuk
mengungkapkan seberapa banyak teman Amerika yang dimiliki dan organisasi
Amerika yang diikuti oleh imigran-imigran tersebut, seberapa tingkat kesulitan
yang dihadapi imigran dalam berbicara dan memahami Bahasa Inggris, seberapa
kuat keinginan mereka berteman dengan orang Amerika dan mempelajari tentang
peristiwa terkini di Amerika, seberapa banyak mereka berhubungan dengan orang
Amerika tiap harinya, dan media cetak dan elektronik yang mereka akses.
Analisis statistik digunakan untuk membandingkan model Kim dengan hasil
kuisioner. Tiga variabel kausal yang pertama terlihat pada model, (1) potensial
berinteraksi dengan anggota masyarakat lokal dan mengonsumsi media, (2)
kompeten di dalam berbahasa bahasa lokal (Bahasa Inggris), (3) motivasi atau
keinginan kuat untuk mempelajari tentang dan berpartisipasi dalam kebudayaan
lokal, yang sangat terkait dengan kompleksitas persepsi (akulturasi). Hanya (4)
ketersediaan media massa (akses ke surat kabar, radio, dan televisi lokal) yang
tidak berhubungan dengan akulturasi, mungkin karena satu-satunya
perbedaan di antara responden melibatkan akses ke media cetak. Lebih dari 95%
responden memiliki radio dan televisi. Di mana kedua variabel mediasi
(komunikasi interpersonal dan komunikasi massa) penting dalam akulturasi,
pengaruh komunikasi interpersonal kuat. Secara keseluruhan, hasil studi
tersebut mendukung model yang dibuat Kim. Dalam keadaan tertentu, penelitian
ini mendukung pentingnya komunikasi dalan proses akulturasi.
Dalam tindak lanjut pemeriksaan, Kim
(1977) Kim mengeksplorasi sifat imigran Korea dalam berkomunikasi antarpribadi
dengan sesama orang Korea dan dengan orang Amerika. Dengan menggunakan hasil
survey yang dilaporkan di atas, Kim berusaha melacak perkembangan akulturasi
imigran dari waktu ke waktu dengan
membandingkan dengan berbagai kelompok orang yang telah berada di Amerika untuk
periode yang berbeda-beda. Ia menganalisa empat tipe hubungan antarpribadi:
kenalan biasa, teman biasa, teman akrab, dan keanggotaan dalam organisasi. Ia
menemukan bahwa tingkat “kenalan Amerika biasa” meningkat selama sembilan tahun
pertama, kemudian mencapai titik puncak. Pada sembilan tahun pertamanya di
Amerika, para Korea rata-rata memiliki 11 kenalan Amerika. Saat para Korea
telah tinggal di Amerika antara 7 sampai 9 tahun, mereka rata-rata memiliki 124
kenalan Amerika. Pola pertemanan dengan orang Amerika dan dengan sesama Korea
berbeda. Untuk teman biasa dan teman akrab, angka teman sesama Korea lebih
tinggi daripada teman Amerika dan meningkat untuk 5 – 7 tahun pertama.
Pertemanan dengan orang Amerika mengikuti pola yang sama, kecuali para imigran
mempunyai lebih banyak teman Korea. Setelah 5-7 tahun, bagaimanapun, banyaknya
teman Amerika terus meningkat, ketika banyaknya teman biasa dan teman akrab
Korea mengalami penurunan. Para imigran lebih banyak berpartisipasi dalam organisasi
Korea dibandingkan dengan organisasi Amerika. Pola partisipasi mengikuti
pertemanan, baik dengan anggota organisasi Amerika maupun Korea, meningkat
untuk beberapa tahun pertama. Kemudian anggota organisasi Amerika terus
meningkat, sementara anggota organisasi Korea mengalami penurunan.
Pengeksplorasian lebih dalam dari komunikasi antarpribadi ini penting karena
hal tersebut mengindikasikan bahwa para orang Korea mempertahankan keanggotaan
aktif baik dalam masyarakat lokal dan juga dalam komunitas etnis mereka. Hal
tersebut juga menarik, melihat bahwa teman-teman satu etnis lebih penting dalam
membentuk sikap di beberapa tahun pertama para imigran berada di masyarakat
lokal. Seiring berjalannya waktu, teman-teman dari kultur lokal menjadi yang
lebih berpengaruh.
Informasi ekstensif yang telah ia
kumpulkan melalui kuisonernya memimpin Young Kim (1987) ke analisis lebih
lanjut mengenai kecenderungan sikap imigran dan persepsi terhadap masyarakat
Amerika. Setelah analisis statistik tambahan dari hasil kuisioner, Kim
menemukan bahwa para imigran yang memiliki komunikasi antarpribadi lebih besar
di dalam komunitas etnis juga cenderung memiliki banyak komunikasi dengan orang
Amerika. Perilaku para imigran terhadap media massa mengikuti tren yang sama
dengan pembangunan hubungan antarpribadi yang disebutkan sebelumnya. Konsumsi
terhadap kedua media massa lokal dan etnis meningkat selama beberapa tahun
pertama: selanjutnya, penggunaan media massa Korea menurun, ketika penggunaan
media massa Amerika meningkat. Para imigran melihat perbedaan budaya antara
Korea dan Amerika Serikat menjadi yang terpenting pada saat awal mereka
tinggal. Mereka yang tinggal lebih lama di Amerika seperti lebih memahami
kemiripan budaya. Sikap para imigran terhadap Amerika Serikat mengikuti pola
yang mirip: mereka menjadi lebih positif ketika mereka menghabiskan waktu lebih
lama di negara baru. Kesimpulan akhir dan paling penting dari penelitian ini
adalah kontak komunikasi antarpribadi lebih memainkan peran penting dalam
mempelajari tentang masyarakat lokal daripada yang dilakukan media massa.
Temuan ini juga dikatakan dalam pemaparan pertama penelitian ini.
Dalam penelitian selanjutnya, Kim
(1987) menjelajahi jaringan antarpribadi pada para imigran dengan lebih detail.
Penelitian ini mencoba membangun teori tentang hubungan antara komunikasi
antarpribadi dan akulturasi berdasarkan temuan dari penelitian yang dipaparkan
sebelumnya. Kim mengeksplorasi properti jaringan antarbudaya, yang sebagian di
antaranya didiskusikan pada Bab 11. Keberagaman jaringan merujuk kepada
proporsi dari hubungan komunikasi yang diselenggarakan dengan orang Amerika
(penduduk yang heterogen untuk para Korea). Konsep jaringa lain yang juga
penting yaitu pertimbangan Kim mengenai kekuatan ikatan antara dua individu,
tingkat keintiman dari hubungan mereka. Jaringan komunikasi yang lebih beragam
dari imigran dan hubungan yang lebih kuat dengan orang Amerika, lebih seperti
para imigran ingin berkomunikasi secara kompeten dalam budaya lokal. Orang yang
memiliki banyak kontak langsung dalam jaringan pusat cukup mempertimbangkan
pada jaringan. Seseorang yang kurang penting mungkin harus mengirim pesan
melalui orang lain untuk mencapai penerima utama. Sebagai contoh, mahasiswa
biasanya tidak mengekspresikan pendapat mereka secara langsung kepada manajer
asrama, mereka biasanya mengajukan pengaduan atau memberikan komentar melalui
penasihat penduduk. Kim disarankan yang berfokus pada masa depan sentralitas
penelitian sejak sentralitas dapat menunjukkan seberapa dekat masyarakat adat
telah terintegrasi ke dalam perawatan imigran. Kim juga menyarankan dua area
eksplorasi tambahan yang dibutuhkan untuk mengembangkan teorinya: (1)
mempelajari jumlah dan jenis hubungan komunikasi dengan lainnya, imigran bukan
Korea; dan (2) mengamati perubahan dalam kegiatan komunikasi dan efeknya pada
persepsi imigran dari waktu ke waktu. Secara keseluruhan, Kim menyimpulkan
bahwa berpartisipasi dalam kegiatan komunikasi etnis tidak memfasilitasi dan
mungkin benar-benar menghambat akulturasi ke dalam budaya lokal.
Kim (1987) juga memodifikasi model
yang ia perkenalkan pertama kali pada 1977. Model kedua ini tergambar pada
Figure 13.2. Ketika moel tersebut cukup mirip dengan model pertama, itu berbeda
dalam memperkenalkan konsep kompetensi komunikasi lokal. Figure 13.3
menggambarkan perluasan kompetensi komunikasi lokal yang diperkenalkan Kim
dalam penelitiannya. Di model yang terbaru, konsumsi media massa sudah
ditiadakan karena hal tersebut terbukti lebih tidak penting dibandingkan dengan
komunikasi antarpribadi dalam mempengaruhi persepsi imigran Korea. Komunikasi
antarpribadi sudah dianalisis untuk memasukkan kompetensi komunikasi dalam
kebudayaan setempat dan pengembangan relasional.
Faktor-faktor latar belakang
(seperti usia dan kepribadian) sudah ditambahkan di model asli. Model Figur
13.2 lebih memperhatikan faktor internal dan disajikan sebagai model yang
berjudul, “Faktor-faktor Latar Belakang Memfasilitasi Adaptasi” (1987, hlm.
200). Kim muncul untuk menggunakan adaptasi dan akulturasi dalam arti yang
sama. Model dalam Figure 13.1 dan 13.2 mengilustrasikan perkembangan teori baik
dari niat (pengembangan dan perluasan interal) dan perpanjangan (memperluas
teori untuk memasukkan domain yang lebih besar, lihat Bab 2). Tambahan dari
kompetensi komunikasi lokal adalah sebuah contoh dari perpanjangan teori
tersebut untuk menutupi variabel yang tidak tersaji dalam model asli. Figure
13.3 menyajikan bukti yang lebih jauh dari pengembangan yang disengaja dari
teori tersebut. Itu menggambarkan komponen-komponen yang membentuk kompetensi
komunikasi dalam kebudayaan setempat. Kim dapat menambah variabel-variabel yang
termasuk dalam afektif, kognitif, dan dimensi perilaku dalam bagian dengan
membaca riset orang lain dan memikirkan dengan cermat tentang proses adaptasi
dan dalam bagian dengan menganalisis maksud dari penelitiannya sendiri. Pada
akhirnya, model komunikasi Kim mengenai adaptasi silang budaya selesai (1988,
hlm. 79). Model akhir menggabungkan internal, komunikasi, dan faktor-faktor
lingkungan yang hadir dalam model sebelumnya, disajikan pada Figure 13.4. Model
Kim akulturasi imigran memberikan contoh yang baik tentang teori sistem karena
mencakup variabel dari semua level sistem budaya: psikologis internal dan
variabel linguistik, variabel jaringan komunikasi, dan variabel media massa.
Model tersebutadalah contoh yang baik dari teori pembangunan karena kita dapat
menelusuri revisi dan pembangunan melalui penelitian Kim yang telah dipublikasikan.
Post a Comment