Usaha Furniture dan Etika Bisnis
Yang Dilakukan
I.
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Usaha Yang di inginkan adalah membuat
bisnis futniture,
Popularitas Jepara sebagai pusat industri desain ukir ini telah merambah pada
skala nasional dan internasioanl. Produk industri desain ukir Jepara yang cukup
lama telah dikenal oleh masyarakat di luar Jepara itu berhasil masuk kancah
perdagangan dunia internasional sejak tahun 1990-an. Kehadiran produk desain
ukir ini mendapatkan apresiasi yang positif dari konsumen di negara lain,
antara lain; Asia, Eropa Barat serta Amerika. Pengelolaan industri desain ukir
Jepara itu mampu menarik investor asing untuk menanamkan modal usaha di Jepara.
Produksi mebel dan desain ukir Jepara itu telah merambah kedelapan puluh Negara
tujuan ekspor.Bisnis Futniture yang meluas di dunia membuat saya ingin menjadi
pengusaha futniture
Dibalik terkenalnya ukiran Jepara terdapat masalah-masalah
yang sering dihadapi terutama dalam proses kegiatan produksi oleh para perajin
mikro. Kendala modal,sirkulasi keuangan pemasukan dan pengeluaran serta
keuntungan. Selama ini akses pasar para perajin mikro terbatas pada eksportir
maupun ke sub eksportir yang pada umumnya memiliki gudang, tetapi mereka tetap
bisa menjalankan usahanya. Namun pada kenyataanya dalam perkembangan bisnis
mikro selanjutnya para perajin atau usaha kecil semakin banyak tumbuh,sementara
pasar yang tersedia hanya itu-itu saja,pada gilirannya berakibat adanya
persaingan yang cukup merepotan diantara mereka sendiri.
Selain itu ,kasus meneganai hak cipta yang kurang dilindungi
juga merupakan salah satu masalah yang timbul dalam usaha ini. Sebuah
perusahaan milik orang asing (Inggris) telah membuat katalog, yang di dalamnya
terdapat gambar-gambar desain ukiran Jepara. Perusahaan itu telah mendaftarkan
katalog tersebut ke kantor HKI dalam rangka memperoleh perlindungan hak cipta.
Ukiran Jepara merupakan salah satu Budaya Indonesia yang
harus dilindungi, sehingga dalam pelaksanaannya harus diterapkan etika – etika
dalam berbisnis mebel kayu ukir (furniture). Dimana dalam penerpan etika etika
tersebut dapat melindungi hak-hak para perajin mikro maupun makro serta HAKI
ukir Jepara.
B. Rumusan
Masalah
Latar
belakang di atas memberikan inspirasi beberapa perangkat pertanyaan dalam
penelitian ini, untuk dapat menjelaskan permasalahan penelitian ini, yang
antara lain:
1. Bagaiama perkembanagan ukir jepara
sejak zaman awal mula ada hingga sekarang.
2. Bagaiamana proses usaha kerajinan
kayu ukir pada perajin mikro di Jepara .
3. Bagaimana cara penyelesaian
sengketa HAKI yang
berhubungan dengan kasus meubel di Jepara.
C. Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah yang telah dipaparkan ,maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui bagaiama perkembanagan
ukir jepara sejak zaman sejarah hingga sekarang.
2. Mengethaui proses usaha kerajinan
kayu ukir pada perajin mikro di Jepara
3. menegtahui cara penyelesaian
sengketa HAKI yang
berhubungan dengan kasus meubel di Jepara
D. Metode Penelitian
Berdasarkan Metode kasus sengketa yang diperkenal Llewellyn
dan Hoebel (1941) dan Hoebel (1954) : Kasus-kasus
sengketa yang dipilih dan dikaji secara seksama adalah cara yang utama untuk
dapat memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat. Data yang
diperoleh dari pengkajian terhadap kasus-kasus sengketa sangat meyakinkan dan
kaya, karena dari kasus-kasus tersebut dapat diungkapkan banyak keterangan
mengenai norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat.
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan pendekatan
antropologi. Oleh karena itu, konsentrasi penelitian ditekankan pada dimensi
hukum, maka pendekatannya pun menjadi pendekatan antropologi hukum. Antropologi
hukum merupakan disiplin ilmiah yang secara paling eksplisit memusatkan
perhatian pada kekompleksitasan normatif masyarakat, mengkaji hukum dalam
masyarakat, antar hubungan serta interdenpendensi berbagai bentuk normatif
serta lembaga-lembaga, dan hubungan-hubungannya perilaku manusia.
II.
Pembahasan
A. Perkembangan
Seni ukir Jepara
Dalam catatan sejarah perkembangan
ukir kayu juga tak dapat dilepaskan dari peranan Ratu Kalinyamat . Pada masa
pemerintahannya ia memiliki seorang patih yang bernama “Sungging Badarduwung”
yang berasal dari Negeri Campa Patih ini ternyata seorang ahli pahat yang
dengan sukarela mengajarkan keterampilannya kepada masyarakat disekitarnya Satu
bukti yang masih dapat dilihat dari seni ukir masa pemerintahan Ratu Kalinyamat
ini adalah adanya ornament ukir batu di Masjid Mantingan.
Disamping itu , peranan Raden Ajeng
Kartini dalam pengembangkan seni ukir juga sangat besar. Raden Ajeng Kartini
yang melihat kehidupan para pengrajin tak juga beranjak dari kemiskinan,
batinnya terusik, sehingga ia bertekat mengangkat derajat para pengrajin. Ia
memanggil beberapa pengrajin dari Belakang Gunung (kini salah satu padukuhan
Desa mulyoharjo) di bawah pimpinan Singowiryo, untuk bersama-sama membuat
ukiran di belakang Kabupaten. Oleh Raden Ajeng Kartini, mereka diminta untuk
membuat berbagai macam jenis ukiran, seperti peti jahitan, meja keci, pigura,
tempat rokok, tempat perhiasan, dan lain-lain barang souvenir. Barang-barang
ini kemudian di jual Raden Ajeng Kartini ke Semarang dan Batavia (sekarang
Jakarta ), sehingga akhirnya diketahui bahwa masyarakat Jepara pandai mengukir.
Setelah banyak pesanan yang datang,
hasil produksi para pengrajin Jepara bertambah jenis kursi pengantin, alat
panahan angin, tempat tidur pengantin dan penyekat ruangan serta berbagai jenis
kursi tamu dan kursi makan. Raden Ajeng Kartini juga mulai memperkenalkan seni
ukir Jepara keluar negeri. Caranya, Raden Ajeng kartini memberikan souvenir
kepada sahabatnya di luar negeri. Akibatnya ukir terus berkembang dan pesanan
terus berdatangan. Seluruh penjualan barang, setelah dikurangi dengan biaya
produksi dan ongkos kirim, uangnya diserahkan secara utuh kepada para
pengrajin. Untuk menunjang perkembangan ukir Jepara yang telah dirintis oleh
Raden Ajeng Kartini, pada tahun 1929 timbul gagasan dari beberapa orang pribumi
untuk mendirikan sekolah kejuruan. Tepat pada tanggal 1 Juli 1929, sekolah
pertukangan dengan jurusan meubel dan ukir dibuka dengan nama “Openbare
Ambachtsschool” yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Teknik Negeri dan
Kemudian menjadi Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri.
Dengan adanya sekolah kejuruan ini,
kerajinan meubul dan ukiran meluas di masyarakat dan makin banyak pula
anak–anak yang masuk sekolah ini agar mendapatkan kecakapan di bidang meubel
dan meubel dan ukir. Di dalam sekolah ini agar diajarkan berbagai macam desain
motif ukir serta ragam hias Indonesia yang pada mulanya belum diketahui oleh
masyarakat Jepara . Tokoh-tokoh yang berjasa di dalam pengembangan motif lewat
lembaga pendidikan ini adalah Raden Ngabehi Projo Sukemi yang mengembangkan
motif majapahit dan Pajajaran serta Raden Ngabehi Wignjopangukir mengembangkan
motif Pajajaran dan Bali.
Semakin bertambahnya motif ukir yang
dikuasai oleh para pengrajin Jepara , meubel dan ukiran Jepara semakin
diminati. Para pedagang pun mulai memanfaatkan kesempatan ini, untuk mendapatkan
barang-barang baru guna memenuhi permintaan konsumen, baik yang berada di dalam
di luar negeri.
Setelah mengalami perubahan dari
kerajinan tangan menjadi industri kerajinan, terutama bila dipandang dari segi
sosial ekonomi, ukiran kayu Jepara terus melaju pesat, sehingga Jepara
mendapatkan predikat sebagai kota ukir, setelah berhasil menguasai pasar
nasional. Namun karena perkembangan dinamika ekonomi, pasar nasional saja belum
merupakan jaminan, karena di luar itu pangsa pasar masih terbuka lebar. Oleh
karena itu diperlukan kiat khusus untuk dapat menerobos pasar internasional.
Untuk melakukan ekspansi pasar ini buka saja dilakukan melalui pameran-pameran,
tetapi juga dilakukan penataan-penataan di daerah.
Langkah-langkah ini ditempuh dengan
upaya meningkatkan kualitas muebel ukir Jepara, menejemen produksi dan
menejemen pemasaran. Di samping itu dikembangkan “Semangat Jepara Incoporated
“, bersatunya pengusaha Jepara dalam memasuki pasar ekspor, yang menuntut
persiapan matang karena persaingan-persaingan yang begitu ketat .
Guna meningkatkan kualitas Sumber
Daya Manusia misalnya, dilakukan melalui pendidikan Sekolah Menengah Industri
Kerajinan Negeri dan Akademi Teknologi Perkayuan dan pendidikan non formal
melalui kursus-kursus dan latihan-latihan. Dengan penigkatan kualitas sumber
daya manusia ini diharapkan bukan saja dapat memacu kualitas produk, tatapi
juga memacu kemampuan para pengrajin dan pengusaha Jepara dalam pembaca peluang
pasar dengan segala tentutannya.
Peningkatan kualitas produk dan
pengawasan mutu memang menjadi obsesi Jepara dalam memasuki pasar
internasional, yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan luar negri
terhadap produk industri Jepara. Karena itu pengendalian mutu dengan mengacu
pada sistim standard internasional merupakan hal yang tidak dapat di
tawar-tawar lagi. Usaha ini dilakukan melalui pembinaan terhadap produsen agar
mempertahankan mutu produknya dalam rangka menjamin mutu pelayanan sebagai mana
dipersaratkan ISO 9000.
Di samping itu, perluasan dan
intensifikasi pasar terus dilakukan dalam rangka meningkatkan ekspor serta
peluasan pasar internasional dengan penganeragaman produk yang mempunyai
potensi, serta peningkatan market intelligence untuk memperoleh transportasi
pasar luar negeri. Dengan demikian para pengusaha dapat dengan tepat dan cepat
mengantisipasi peluang serta tantangan yang ada dipasar internasional.
Sementara itu jaringan informasi terus dilakukan melalu pengevektivan fungsi
dan kegiatan Buyer Reception Desk yang ada di Jepara. Langkah-langkah konseptual
yang dilakukan secara terus menerus ini telah berbuah keberhasilan yang
dampaknya dirasakan oleh masyarakat Jepara, berupa peningkatan kesejateraannya.
Dari data yang ada dapat dijadikan cermin keberhasilan sektor meubel ukir dalam
lima tahun terakhir.
Menurut Center For International
Fouretry Research (CIFOR), industri furniture telah menjadi sumber pendapatan
di Jepara
selama bertahun-tahun. Tetapi, berdasarkan survey tahun 2010 jumlah unit usaha
mebel di Jepara
terus mengalami penurunan sebesar 20 persen dari tahun 2005 yakni menjadi
11.597 unit.
CIFOR merupakan salah satu dari 15
pusat penelitian dalam kelompok konsultatif bagi Penelitian Pertanian
International (Consultative Group On International Agricultural Research).
Penurunan terbesar dari 12.763 unit di tahun 2005 menjadi 8.289 unit di tahun
2010 atau sebesar 35 persen.
Padaha usaha mebel memberikan
kontribusi sekitar 27 persen perekonomian daerah yang terkenal dengan seni ukir
ini. Parahnya distribusi nilai tambah yang didapat para pelaku industri mebel
dikuasai oleh pemain asing yang menikmati sekitar 61 persen permeter kubik
bahan baku, sedangkan pemain lokal seperti petani hutan, penjual kayu,
pengrajin mebel dan eksportir didalam negeri hanya memperoleh sekitar 38.9
persen.
Sementara pengrajin kecil sendiri
hanya memperoleh sekitar 3,6 persen dari distribusi nilai tambah tersebut.
Walaupun lebih banyak pelaku industri mebel di tingkat pengrajin (UKM) tetapi
distribusi nilai tambahnya tidak banyak dirasakan oleh pengrajin tapi lebih
kepada perusahaan besar yang menampung produk hasil pengrajin kecil.
Trend volume dan nilai ekspor
furniture Indonesia cenderung menurun, dari $ 127 juta pada tahun 2005 menjadi
$ 118 juta pada tahun 2007. Kebanyakan dari pelaku industri ini memproduksi
produk yang bernilai tambah rendah dan dikategorikan sebagai ‘sunset industri’
oleh pemerintah.
Pemerintah Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah, memperkuat identitas daerah sebagai “The World Carving Center” atau
pusat ukiran dunia dengan memetakan dan mengembangkan potensi unggulan daerah.
Hal itu bertujuan menarik investor,
pembeli dari dalam dan luar negeri, sekaligus wisatawan domestik dan
mancanegara.
Investasi di bidang UMKM mebel dan
patung ukir itu Rp 164 miliar dan rata-rata nilai produksi per tahun mencapai
Rp 1,24 triliun. Sementara itu nilai produksi UMKM tenun troso rata-rata Rp 268
miliar per tahun,
B. Perajin kayu ukir mikro
Selama ini akses pasar para perajin
mikro terbatas pada eksportir maupun ke sub eksportir yang pada umumnya
memiliki gudang, tetapi mereka tetap bisa menjalankan usahanya. Namun pada
kenyataanya dalam perkembangan bisnis mikro selanjutnya para perajin atau usaha
kecil semakin banyak tumbuh,sementara pasar yang tersedia hanya itu-itu
saja,pada gilirannya berakibat adanya persaingan yang cukup merepotan diantara
mereka sendiri.
Dalam situsai dan kondsi
demikian,berakibat bagi melemahnya posisi tawar bagi perajin sehingga pihak
gudang seringkali menetapkan harga yang sangat murah sebelum lagi pembayaran
yang tidak bisa dipastikan kapan jatuh temponya.Hampir semua perajin sebenarnya
malah memberikan modal kepada ekportir atau pihak gudang untuk memperkaya
mereka.
Belum didapatkan secara pasti apakah
yang menyebabkan usaha mikro menjadi enggan jika diajak untuk menganalisa
usahanya. Satu contoh Kasus di mlonggo ,banyak perajin mikro tidak mau menyebutkan
darimana saja hutang yang mereka dapatkan untuk mencukupi kebutuhan modalnya.
Meraka tampak tidak mau membuka persoalan ini . kebanyakan pelaku usaha mikro
akan menjadi takut jika mengetahui berapa sebenarnya hutang mereka tanggung
dalam menjalankan aktivitas usahanya.
Kasus lainnya,pelaku usaha mikro
sering menyederhanakan masalah ,misalnya dalam memperhitungkan laba. Jika
usahanya tetap berjalan dan bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya ,berarti
mereka sudah memiliki keuntungan. Dalam kasus ini,yang kemudian terjadi adalah
pelaku usaha kecil sering kali tidak bisa menjawab secara pasti aktivitas mana
saja yang membutuhkan biaya dan dan darimana biaya itu mereka dapatkan untuk
membayarnya. Yang terjadi berikutnya adalah ,pelaku usaha mikro tidak memiliki
kemauan dan dan kesadaran untuk mengkategorikan aktivitas-aktivitas yang
memerlukan biaya yang sesungguhnya dapat berpengaruh pada biaya produksi yang
pada akhirnya akan mengurangi laba yang akan diperolehnya. Misalnya ,biasanya
biaya yang mengangkut barang kepabrik ataupun biaya-biaya yang lainnya yang
pada kenyataanyya dibayarkan. Seperti memberi rokok kepada pekerja ditempat
penggergajian (uang di luar biaya gergaji) tidak dihitungkan menjadi biaya yang
seharusya berkaitan dengan ongkos produksi. Biaya semacam ini dianggap tidak
berpengaruh pada perolehan laba.
Hal ini seperti pernah diungkapkan
oleh seorang perajin di wilayah Jambu Timur Mlonngo Jepara ,meski banyak
dilakukan kecurangan oleh pembeli (PT.Guadang –Red) seperti tertundaya pembayaran
,namun mereka masih mempertahankan pasar tersebut .disamping itu masih tampak
perilaku perajin yang menerima keadaan sebagaiamana adanya , misalnya kesetiaan
perajin untuk membeli bahan baku kayu kepada para pedagang meski harganya
mahal. Menurut sejumlah perajin, yang terpenting usaha mereka tetap berjalan.
Perajin usaha mikro di Jepara
relatif tidak memiliki kelompok yang cukup solid dalam memecahkan masalah
mereka, masalah modal akses pasar yang selama ini masih menjadi problem utama
tampak tidak pernah dicari solusinya secara bersamaan.
Sikap individual masing-masing
perajin tampak terlihat manakala mencari peluang pasar. Bertambahnya jumlah
perajin secara alami telah menciptakan persaingan – persaingan pasar diantara
perajin mikro sendiri,belum lagi keberadaan usaha besar yang lebih cenderung
memproduksi barang sendiri tanpa melibatkan perajin mikro sebagai sub
kontraktor. Sikap individual mereka ,pada gilirannnya menciptakan
persaingan pasar yang tidak sehat dan cenderung memposisikan perajin pada titik
lemah. Perajin tidak lagi memiliki kemampuan mempertahankan harga penawaran
pada pihak pembeli,dalam hal ini trading atau gudang ,ataupun individu yang
sering kali juga berperan sebagai broker.
Posisi lemah dalam penawaran harga
,sebenarnya bukan semata-mata disebabkan oleh kurangnya permintaan yang
ditawarkan oleh pihak pembeli (gudang,broker,atau buyer yang ada),tetapi juga
disebabkan oleh sikap persaingan pasar yang diciptakan sendiri oleh perajin.
Menjadi hal yang wajar memang,manakala perajin mau menjual barangnya dengan
harga rendah dikaernakan untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya. Hampir
semua pengusaha mikro di Jepara belum memperhatikan pentingnya legalitas usaha.
Selain itu ,kebiasaan perajin dalam melakukan kontrak bisnisnya dilakukan
sebatas lisan saja .
Dalam bisnis furnitur di Jepara ,
besar kecilnya DP ditentukan oleh tingkat kepercayaan buyer terhadap suplayer.
Ketika tingkat kepercayaan kolektif menurun, yang tejadi kemudian adalah
munculnya komentar seperti ini: ‘Ngasih DP sama perajin di Jepara sama saja
dengan ngasih uang jajan. Barang enggak jadi uang hilang’. Tidak heran bila
kemudian para buyer lebih cenderung bermitra dengan suplayer dari daerah lain,
yang tingkat expertise produksinya sebenarnya masih di bawah Jepara. Sekarang
ini banyak perajin Jepara yang terpaksa melempar barangnya melalui Yogyakarta.
Sebenarnya dalam etika bisnis
menjadi keharusan untuk mendapatkan kepastian disisi hukumnya. Sehingga
manakala terjadi perselisihan ataupun ingkar perjanjian ,maka berdasarkan
hukum bisa dan sah dilakukan penyelesaiannya.
Advokasi hukum untuk perajin
mikro,memberikan bantuan dalam dua bidang yakni:
1. Layanan hukum non ligitasi,meliputi:
· Penyuluhan hukum perdata /dagang
· Nasehat atau saran hukum
· Konsultasi hukum
· Mediator/negosiator diluar persidangan
2. Layanan hukum ligitasi. Jasa layanan ini dimaksudkan
bertindak sebagai kuasa hukum /pembela dalam sidang pengadilan.
C. Kasus Ukiran Jepara
Mungkin di antara kita ada yang
pernah mendengar kasus ukiran Jepara yang melibatkan orang-orang asing.
Kasus itu merupakan warning bagi kita semua betapa sistem perlindungan HKI
masih belum sepenuhnya dipahami oleh banyak pihak. Kasus ini juga membuktikan
adanya misappropriation atau pengambilan hak-hak masyarakat Jepara secara tidak
sah oleh orang asing atas karya tradisional mereka berupa ukira-ukiran yang
khas.
Kasusnya dimulai dari adanya
sengketa antara orang-orang asing (Inggris vs Belanda) berkenaan dengan
penggunaan desain ukiran Jepara. Secara singkat kasusnya dapat digambarkan
sebagai berikut: sebuah perusahaan milik orang asing (Inggris) telah membuat
katalog, yang di dalamnya terdapat gambar-gambar desain ukiran Jepara.
Perusahaan itu telah mendaftarkan katalog tersebut ke kantor HKI dalam rangka
memperoleh perlindungan hak cipta. Belakangan, gambar-gambar itu muncul di
dalam website yang digunakan oleh orang asing lainnya (Belanda) untuk
mempromosikan kegiatan usahanya sebagai pedagang mebel. Orang Inggris
mengadukan orang Belanda dengan tuduhan melanggar hak cipta karena telah
mengumumkan melalui website desain “miliknya” yang terdapat dalam katalog
tersebut.
Dengan pendaftaran dan klaim ini
boleh jadi para pengukir Jepara nantinya akan terancam tuduhan melakukan pelanggaran
desain jika mereka mengekspor hasil karya mereka ke luar negeri, khususnya ke
Eropa. Akibatnya, pengrajin ukir Jepara tidak bisa lagi mengekspor
produknya ke negara-negara tersebut. Sebab, desain ukir yang digunakan sama
dengan produk yang sudah dihasilkan oleh pengrajin negara-negara tadi. Ini akan
menjadi sebuah ironi yang menyedihkan ketika para pengukir tradisional justru
terancam haknya untuk menggunakan desain tradisional milik mereka
sendiri.
Jika perusahaan atau orang Inggris
itu memang berminat memperoleh perlindungan desain, ia seharusnya bukan
mendaftarkan katalog dalam rezim hak cipta, melainkan mendaftarkan dalam
rezim desain industri.
Jika desain itu kemudian diklaim
sebagai milik perusahaan asing, maka hal itu merupakan tindakan misappropriation
yang sangat transparan yang dilakukan oleh orang asing terhadap warisan budaya
bangsa, khususnya.
Pemerintah Kabupaten Jepara melalui Jepara
Furniture Design Centre (JFDC) dan Dirjen HAKI bergerak cepat sehingga
sebagian besar desain yang dibajak berhasil diselamatkan. Upaya penyelamatan
dilakukan dengan cara menelusuri berbagai dokumen dan literatur terkait, mulai
dari berkas perjanjian ekspor yang pernah dilakukan di negara yang bersangkutan
hingga penelusuran berbagai desain ukir yang dihasilkan pengrajin Jepara.
Agar kasus pembajakan ini tidak
terus berulang, maka semua desain ukiran dipatenkan. Ekspor mebel Jepara
mengalami pasang surut. Pernah jaya sekitar 1999 dengan nilai ekspor sekitar
200 juta USD. Setelah itu mengalami penurunan. Pada 2001 nilai
ekspor hanya 74 juta USD. Setelah itu pelan-pelan ekspor mebel Jepara terus
berbenah. Hasilnya, 2010 nilai ekspor mencapai 117 juta USD.
III.
Penutupan
Kesimpulan
Llewellyn dan Hoebel (1941) dan
Hoebel (1954) : Kasus-kasus sengketa yang dipilih dan dikaji secara
seksama adalah cara yang utama untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku
dalam suatu masyarakat. Data yang diperoleh dari pengkajian terhadap
kasus-kasus sengketa sangat meyakinkan dan kaya, karena dari kasus-kasus
tersebut dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai norma-norma hukum yang
sedang berlaku dalam masyarakat “The
trouble-cases, sought out and examined with care, are thus the safest main road
into the discovery of law. Their data are most certain. Their yield is
reachest. They are the most revealing (Llewellyn & Hoebel, 1941:29;
Hoebel, 1954:36)”.
Berdasarkan metode yang digunakan
Llewellyn dan Hoebel (1941) dan Hoebel (1954) ,mempelajari antropolgi dari
segi kasus atau sengketa,dapat mempermudah kita dalam memahami antropologi.
Sebagai contoh,etika
dalam berbsisnis furniture ukir merupakan cara atau tata aturan yang
seharusnya dipakai dalam berbisnis agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi
pelanggaran dan merugikan pihak broker,buyer maupun perajin tradisonal itu
sendiri.
Perajin ukir kayu mikro,seharusnya menggunakan jasa advokad
atau penasihat hukum,agar dalam berbisnis tidak tertipu,dan tidak hanya
mengandalkan keuntungan seadanya saja serta meninggalkan kebisaan bisnis yang
kurang sehat.
Kasus pengakuan HakCipta yang terjadi di Eropa seharusnya
menjadi pelajaran bagi para perajin serta pemerintah daerah,agar desai yang
dimiliki oleh Jepara tidak diklaim secara tidak hormat oleh para buyer asing.
IV.
Daftar Pustaka
Llewellyn, K.N. and E.A. Hoebel, The Cheyenne Way,
Conflict and Case Law in Primitive Jurisprudence, University of
Oklahoma Press, 1941.
Post a Comment