Generasi Rimba Alam Semesta ( GRAS ) Generasi Rimba Alam Semesta ( GRAS ) Author
Title: Etika Bisnis
Author: Generasi Rimba Alam Semesta ( GRAS )
Rating 5 of 5 Des:
Usaha Furniture dan Etika Bisnis Yang Dilakukan I.     Pendahulu an A.    Latar Belakang Usaha Yang di inginkan adalah membuat bisn...
Usaha Furniture dan Etika Bisnis Yang Dilakukan

I.    Pendahuluan
A.   Latar Belakang
Usaha Yang di inginkan adalah membuat bisnis futniture, Popularitas Jepara sebagai pusat industri desain ukir ini telah merambah pada skala nasional dan internasioanl. Produk industri desain ukir Jepara yang cukup lama telah dikenal oleh masyarakat di luar Jepara itu berhasil masuk kancah perdagangan dunia internasional sejak tahun 1990-an. Kehadiran produk desain ukir ini mendapatkan apresiasi yang positif dari konsumen di negara lain, antara lain; Asia, Eropa Barat serta Amerika. Pengelolaan industri desain ukir Jepara itu mampu menarik investor asing untuk menanamkan modal usaha di Jepara. Produksi mebel dan desain ukir Jepara itu telah merambah kedelapan puluh Negara tujuan ekspor.Bisnis Futniture yang meluas di dunia membuat saya ingin menjadi pengusaha futniture
Dibalik terkenalnya ukiran Jepara terdapat masalah-masalah yang sering dihadapi terutama dalam proses kegiatan produksi oleh para perajin mikro. Kendala modal,sirkulasi keuangan pemasukan dan pengeluaran serta keuntungan. Selama ini akses pasar para perajin mikro terbatas pada eksportir maupun ke sub eksportir yang pada umumnya memiliki gudang, tetapi mereka tetap bisa menjalankan usahanya. Namun pada kenyataanya dalam perkembangan bisnis mikro selanjutnya para perajin atau usaha kecil semakin banyak tumbuh,sementara pasar yang tersedia hanya itu-itu saja,pada gilirannya berakibat adanya persaingan yang cukup merepotan diantara mereka sendiri.
Selain itu ,kasus meneganai hak cipta yang kurang dilindungi juga merupakan salah satu masalah yang timbul dalam usaha ini. Sebuah perusahaan milik orang asing (Inggris) telah membuat katalog, yang di dalamnya terdapat gambar-gambar desain ukiran Jepara. Perusahaan itu telah mendaftarkan katalog tersebut ke kantor HKI dalam rangka memperoleh perlindungan hak cipta.
Ukiran Jepara merupakan salah satu Budaya Indonesia yang harus dilindungi, sehingga dalam pelaksanaannya harus diterapkan etika – etika dalam berbisnis mebel kayu ukir (furniture). Dimana dalam penerpan etika etika tersebut dapat melindungi hak-hak para perajin mikro maupun makro serta HAKI ukir Jepara.



B.   Rumusan Masalah
Latar belakang di atas memberikan inspirasi beberapa perangkat pertanyaan dalam penelitian ini, untuk dapat menjelaskan permasalahan penelitian ini, yang antara lain:
1.       Bagaiama perkembanagan ukir jepara sejak zaman awal mula ada hingga sekarang.
2.      Bagaiamana proses usaha kerajinan kayu ukir pada perajin mikro di Jepara .
3.      Bagaimana cara penyelesaian sengketa HAKI yang berhubungan dengan kasus meubel di Jepara.

C.   Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan ,maka penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Mengetahui bagaiama perkembanagan ukir jepara sejak zaman sejarah hingga sekarang.
2.      Mengethaui proses usaha kerajinan kayu ukir pada perajin mikro di Jepara
3.      menegtahui cara penyelesaian sengketa HAKI yang berhubungan dengan kasus meubel di Jepara

D.    Metode Penelitian
Berdasarkan Metode kasus sengketa yang diperkenal Llewellyn dan Hoebel (1941) dan Hoebel (1954) : Kasus-kasus sengketa yang dipilih dan dikaji secara seksama adalah cara yang utama untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat. Data yang diperoleh dari pengkajian terhadap kasus-kasus sengketa sangat meyakinkan dan kaya, karena dari kasus-kasus tersebut dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat.
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan pendekatan antropologi. Oleh karena itu, konsentrasi penelitian ditekankan pada dimensi hukum, maka pendekatannya pun menjadi pendekatan antropologi hukum. Antropologi hukum merupakan disiplin ilmiah yang secara paling eksplisit memusatkan perhatian pada kekompleksitasan normatif masyarakat, mengkaji hukum dalam masyarakat, antar hubungan serta interdenpendensi berbagai bentuk normatif serta lembaga-lembaga, dan hubungan-hubungannya perilaku manusia.





II.     Pembahasan
A.   Perkembangan Seni ukir Jepara
Dalam catatan sejarah perkembangan ukir kayu juga tak dapat dilepaskan dari peranan Ratu Kalinyamat . Pada masa pemerintahannya ia memiliki seorang patih yang bernama “Sungging Badarduwung” yang berasal dari Negeri Campa Patih ini ternyata seorang ahli pahat yang dengan sukarela mengajarkan keterampilannya kepada masyarakat disekitarnya Satu bukti yang masih dapat dilihat dari seni ukir masa pemerintahan Ratu Kalinyamat ini adalah adanya ornament ukir batu di Masjid Mantingan.
Disamping itu , peranan Raden Ajeng Kartini dalam pengembangkan seni ukir juga sangat besar. Raden Ajeng Kartini yang melihat kehidupan para pengrajin tak juga beranjak dari kemiskinan, batinnya terusik, sehingga ia bertekat mengangkat derajat para pengrajin. Ia memanggil beberapa pengrajin dari Belakang Gunung (kini salah satu padukuhan Desa mulyoharjo) di bawah pimpinan Singowiryo, untuk bersama-sama membuat ukiran di belakang Kabupaten. Oleh Raden Ajeng Kartini, mereka diminta untuk membuat berbagai macam jenis ukiran, seperti peti jahitan, meja keci, pigura, tempat rokok, tempat perhiasan, dan lain-lain barang souvenir. Barang-barang ini kemudian di jual Raden Ajeng Kartini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta ), sehingga akhirnya diketahui bahwa masyarakat Jepara pandai mengukir.
Setelah banyak pesanan yang datang, hasil produksi para pengrajin Jepara bertambah jenis kursi pengantin, alat panahan angin, tempat tidur pengantin dan penyekat ruangan serta berbagai jenis kursi tamu dan kursi makan. Raden Ajeng Kartini juga mulai memperkenalkan seni ukir Jepara keluar negeri. Caranya, Raden Ajeng kartini memberikan souvenir kepada sahabatnya di luar negeri. Akibatnya ukir terus berkembang dan pesanan terus berdatangan. Seluruh penjualan barang, setelah dikurangi dengan biaya produksi dan ongkos kirim, uangnya diserahkan secara utuh kepada para pengrajin. Untuk menunjang perkembangan ukir Jepara yang telah dirintis oleh Raden Ajeng Kartini, pada tahun 1929 timbul gagasan dari beberapa orang pribumi untuk mendirikan sekolah kejuruan. Tepat pada tanggal 1 Juli 1929, sekolah pertukangan dengan jurusan meubel dan ukir dibuka dengan nama “Openbare Ambachtsschool” yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Teknik Negeri dan Kemudian menjadi Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri.
Dengan adanya sekolah kejuruan ini, kerajinan meubul dan ukiran meluas di masyarakat dan makin banyak pula anak–anak yang masuk sekolah ini agar mendapatkan kecakapan di bidang meubel dan meubel dan ukir. Di dalam sekolah ini agar diajarkan berbagai macam desain motif ukir serta ragam hias Indonesia yang pada mulanya belum diketahui oleh masyarakat Jepara . Tokoh-tokoh yang berjasa di dalam pengembangan motif lewat lembaga pendidikan ini adalah Raden Ngabehi Projo Sukemi yang mengembangkan motif majapahit dan Pajajaran serta Raden Ngabehi Wignjopangukir mengembangkan motif Pajajaran dan Bali.
Semakin bertambahnya motif ukir yang dikuasai oleh para pengrajin Jepara , meubel dan ukiran Jepara semakin diminati. Para pedagang pun mulai memanfaatkan kesempatan ini, untuk mendapatkan barang-barang baru guna memenuhi permintaan konsumen, baik yang berada di dalam di luar negeri.
Setelah mengalami perubahan dari kerajinan tangan menjadi industri kerajinan, terutama bila dipandang dari segi sosial ekonomi, ukiran kayu Jepara terus melaju pesat, sehingga Jepara mendapatkan predikat sebagai kota ukir, setelah berhasil menguasai pasar nasional. Namun karena perkembangan dinamika ekonomi, pasar nasional saja belum merupakan jaminan, karena di luar itu pangsa pasar masih terbuka lebar. Oleh karena itu diperlukan kiat khusus untuk dapat menerobos pasar internasional. Untuk melakukan ekspansi pasar ini buka saja dilakukan melalui pameran-pameran, tetapi juga dilakukan penataan-penataan di daerah.
Langkah-langkah ini ditempuh dengan upaya meningkatkan kualitas muebel ukir Jepara, menejemen produksi dan menejemen pemasaran. Di samping itu dikembangkan “Semangat Jepara Incoporated “, bersatunya pengusaha Jepara dalam memasuki pasar ekspor, yang menuntut persiapan matang karena persaingan-persaingan yang begitu ketat .
Guna meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia misalnya, dilakukan melalui pendidikan Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri dan Akademi Teknologi Perkayuan dan pendidikan non formal melalui kursus-kursus dan latihan-latihan. Dengan penigkatan kualitas sumber daya manusia ini diharapkan bukan saja dapat memacu kualitas produk, tatapi juga memacu kemampuan para pengrajin dan pengusaha Jepara dalam pembaca peluang pasar dengan segala tentutannya.
Peningkatan kualitas produk dan pengawasan mutu memang menjadi obsesi Jepara dalam memasuki pasar internasional, yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan luar negri terhadap produk industri Jepara. Karena itu pengendalian mutu dengan mengacu pada sistim standard internasional merupakan hal yang tidak dapat di tawar-tawar lagi. Usaha ini dilakukan melalui pembinaan terhadap produsen agar mempertahankan mutu produknya dalam rangka menjamin mutu pelayanan sebagai mana dipersaratkan ISO 9000.
Di samping itu, perluasan dan intensifikasi pasar terus dilakukan dalam rangka meningkatkan ekspor serta peluasan pasar internasional dengan penganeragaman produk yang mempunyai potensi, serta peningkatan market intelligence untuk memperoleh transportasi pasar luar negeri. Dengan demikian para pengusaha dapat dengan tepat dan cepat mengantisipasi peluang serta tantangan yang ada dipasar internasional. Sementara itu jaringan informasi terus dilakukan melalu pengevektivan fungsi dan kegiatan Buyer Reception Desk yang ada di Jepara. Langkah-langkah konseptual yang dilakukan secara terus menerus ini telah berbuah keberhasilan yang dampaknya dirasakan oleh masyarakat Jepara, berupa peningkatan kesejateraannya. Dari data yang ada dapat dijadikan cermin keberhasilan sektor meubel ukir dalam lima tahun terakhir.
Menurut Center For International Fouretry Research (CIFOR), industri furniture telah menjadi sumber pendapatan di Jepara selama bertahun-tahun. Tetapi, berdasarkan survey tahun 2010 jumlah unit usaha mebel di Jepara terus mengalami penurunan sebesar 20 persen dari tahun 2005 yakni menjadi 11.597 unit.
CIFOR merupakan salah satu dari 15 pusat penelitian dalam kelompok konsultatif bagi Penelitian Pertanian International (Consultative Group On International Agricultural Research). Penurunan terbesar dari 12.763 unit di tahun 2005 menjadi 8.289 unit di tahun 2010 atau sebesar 35 persen.
Padaha usaha mebel memberikan kontribusi sekitar 27 persen perekonomian daerah yang terkenal dengan seni ukir ini. Parahnya distribusi nilai tambah yang didapat para pelaku industri mebel dikuasai oleh pemain asing yang menikmati sekitar 61 persen permeter kubik bahan baku, sedangkan pemain lokal seperti petani hutan, penjual kayu, pengrajin mebel dan eksportir didalam negeri hanya memperoleh sekitar 38.9 persen.
Sementara pengrajin kecil sendiri hanya memperoleh sekitar 3,6 persen dari distribusi nilai tambah tersebut. Walaupun lebih banyak pelaku industri mebel di tingkat pengrajin (UKM) tetapi distribusi nilai tambahnya tidak banyak dirasakan oleh pengrajin tapi lebih kepada perusahaan besar yang menampung produk hasil pengrajin kecil.
Trend volume dan nilai ekspor furniture Indonesia cenderung menurun, dari $ 127 juta pada tahun 2005 menjadi $ 118 juta pada tahun 2007. Kebanyakan dari pelaku industri ini memproduksi produk yang bernilai tambah rendah dan dikategorikan sebagai ‘sunset industri’ oleh pemerintah.
Pemerintah Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, memperkuat identitas daerah sebagai “The World Carving Center” atau pusat ukiran dunia dengan memetakan dan mengembangkan potensi unggulan daerah.
Hal itu bertujuan menarik investor, pembeli dari dalam dan luar negeri, sekaligus wisatawan domestik dan mancanegara.
Investasi di bidang UMKM mebel dan patung ukir itu Rp 164 miliar dan rata-rata nilai produksi per tahun mencapai Rp 1,24 triliun. Sementara itu nilai produksi UMKM tenun troso rata-rata Rp 268 miliar per tahun,

B.   Perajin kayu ukir mikro
Selama ini akses pasar para perajin mikro terbatas pada eksportir maupun ke sub eksportir yang pada umumnya memiliki gudang, tetapi mereka tetap bisa menjalankan usahanya. Namun pada kenyataanya dalam perkembangan bisnis mikro selanjutnya para perajin atau usaha kecil semakin banyak tumbuh,sementara pasar yang tersedia hanya itu-itu saja,pada gilirannya berakibat adanya persaingan yang cukup merepotan diantara mereka sendiri.
Dalam situsai dan kondsi demikian,berakibat bagi melemahnya posisi tawar bagi perajin sehingga pihak gudang seringkali menetapkan harga yang sangat murah sebelum lagi pembayaran yang tidak bisa dipastikan kapan jatuh temponya.Hampir semua perajin sebenarnya malah memberikan  modal kepada ekportir atau pihak gudang untuk memperkaya mereka.
Belum didapatkan secara pasti apakah yang menyebabkan usaha mikro menjadi enggan jika diajak untuk menganalisa usahanya. Satu contoh Kasus di mlonggo ,banyak perajin mikro tidak mau menyebutkan darimana saja hutang yang mereka dapatkan untuk mencukupi kebutuhan modalnya. Meraka tampak tidak mau membuka persoalan ini . kebanyakan pelaku usaha mikro akan menjadi takut jika mengetahui berapa sebenarnya hutang mereka tanggung dalam menjalankan aktivitas usahanya.
Kasus lainnya,pelaku usaha mikro sering menyederhanakan masalah ,misalnya dalam memperhitungkan laba. Jika usahanya tetap berjalan dan bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya ,berarti mereka sudah memiliki keuntungan. Dalam kasus ini,yang kemudian terjadi adalah pelaku usaha kecil sering kali tidak bisa menjawab secara pasti aktivitas mana saja yang membutuhkan biaya dan dan darimana biaya itu mereka dapatkan untuk membayarnya. Yang terjadi berikutnya adalah ,pelaku usaha mikro tidak memiliki kemauan dan dan kesadaran untuk  mengkategorikan aktivitas-aktivitas yang memerlukan biaya yang sesungguhnya dapat berpengaruh pada biaya produksi yang pada akhirnya akan mengurangi laba yang akan diperolehnya. Misalnya ,biasanya biaya yang mengangkut barang kepabrik ataupun biaya-biaya yang lainnya yang pada kenyataanyya dibayarkan. Seperti memberi rokok kepada pekerja ditempat penggergajian (uang di luar biaya gergaji) tidak dihitungkan menjadi biaya yang seharusya berkaitan dengan ongkos produksi. Biaya semacam ini dianggap tidak berpengaruh pada perolehan laba.
Hal ini seperti pernah diungkapkan oleh seorang perajin di wilayah Jambu Timur Mlonngo Jepara ,meski banyak dilakukan kecurangan oleh pembeli (PT.Guadang –Red) seperti tertundaya pembayaran ,namun mereka masih mempertahankan pasar tersebut .disamping itu masih tampak perilaku perajin yang menerima keadaan sebagaiamana adanya , misalnya kesetiaan perajin untuk membeli bahan baku kayu kepada para pedagang meski harganya mahal. Menurut sejumlah perajin, yang terpenting usaha mereka tetap berjalan.
Perajin usaha mikro di Jepara  relatif tidak memiliki kelompok  yang cukup solid dalam memecahkan masalah mereka, masalah modal akses pasar yang selama ini masih menjadi problem utama tampak tidak pernah dicari solusinya secara bersamaan.
Sikap individual masing-masing perajin tampak terlihat manakala mencari peluang pasar. Bertambahnya jumlah perajin secara alami telah menciptakan persaingan – persaingan pasar diantara perajin mikro sendiri,belum lagi keberadaan usaha besar yang lebih cenderung memproduksi barang sendiri tanpa melibatkan perajin mikro sebagai sub kontraktor. Sikap  individual mereka ,pada gilirannnya menciptakan persaingan pasar yang tidak sehat dan cenderung memposisikan perajin pada titik lemah. Perajin tidak lagi memiliki kemampuan mempertahankan harga penawaran pada pihak pembeli,dalam hal ini trading atau gudang ,ataupun individu yang sering kali juga berperan sebagai broker.
Posisi lemah dalam penawaran harga ,sebenarnya bukan semata-mata disebabkan oleh kurangnya permintaan yang ditawarkan oleh pihak pembeli (gudang,broker,atau buyer yang ada),tetapi juga disebabkan oleh sikap persaingan pasar yang diciptakan sendiri oleh perajin. Menjadi hal yang wajar memang,manakala perajin mau menjual barangnya dengan harga rendah dikaernakan untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya. Hampir semua pengusaha mikro di Jepara belum memperhatikan pentingnya legalitas usaha. Selain itu ,kebiasaan perajin dalam melakukan kontrak bisnisnya dilakukan sebatas lisan saja .
Dalam bisnis furnitur di Jepara , besar kecilnya DP ditentukan oleh tingkat kepercayaan buyer terhadap suplayer. Ketika tingkat kepercayaan kolektif menurun, yang tejadi kemudian adalah munculnya komentar seperti ini: ‘Ngasih DP sama perajin di Jepara sama saja dengan ngasih uang jajan. Barang enggak jadi uang hilang’. Tidak heran bila kemudian para buyer lebih cenderung bermitra dengan suplayer dari daerah lain, yang tingkat expertise produksinya sebenarnya masih di bawah Jepara. Sekarang ini banyak perajin Jepara yang terpaksa melempar barangnya melalui Yogyakarta.
Sebenarnya dalam etika bisnis menjadi keharusan untuk mendapatkan kepastian disisi hukumnya. Sehingga manakala terjadi perselisihan ataupun ingkar perjanjian  ,maka berdasarkan hukum bisa dan sah dilakukan penyelesaiannya.
Advokasi hukum untuk perajin mikro,memberikan bantuan dalam dua bidang yakni:
1.      Layanan hukum non ligitasi,meliputi:
·         Penyuluhan hukum perdata /dagang
·         Nasehat atau saran hukum
·         Konsultasi hukum
·         Mediator/negosiator diluar persidangan
2.      Layanan hukum ligitasi. Jasa layanan ini dimaksudkan bertindak sebagai kuasa hukum /pembela dalam sidang pengadilan.

C.    Kasus Ukiran Jepara
Mungkin di antara kita ada yang pernah mendengar kasus ukiran  Jepara yang melibatkan orang-orang asing. Kasus itu merupakan warning bagi kita semua betapa sistem perlindungan HKI masih belum sepenuhnya dipahami oleh banyak pihak. Kasus ini juga membuktikan adanya misappropriation atau pengambilan hak-hak masyarakat Jepara secara tidak sah oleh orang asing atas karya tradisional mereka berupa ukira-ukiran yang khas. 
Kasusnya dimulai dari adanya sengketa antara orang-orang asing (Inggris vs Belanda) berkenaan dengan penggunaan desain ukiran Jepara. Secara singkat kasusnya dapat digambarkan sebagai berikut: sebuah perusahaan milik orang asing (Inggris) telah membuat katalog, yang di dalamnya terdapat gambar-gambar desain ukiran Jepara. Perusahaan itu telah mendaftarkan katalog tersebut ke kantor HKI dalam rangka memperoleh perlindungan hak cipta. Belakangan, gambar-gambar itu muncul di dalam website yang digunakan oleh orang asing lainnya (Belanda) untuk mempromosikan kegiatan usahanya sebagai pedagang mebel. Orang Inggris mengadukan orang Belanda dengan tuduhan melanggar hak cipta karena telah mengumumkan melalui website desain “miliknya” yang terdapat dalam katalog tersebut. 
Dengan pendaftaran dan klaim ini boleh jadi para pengukir Jepara nantinya akan terancam tuduhan melakukan pelanggaran desain jika mereka mengekspor hasil karya mereka ke luar negeri, khususnya ke Eropa. Akibatnya,  pengrajin ukir Jepara tidak bisa lagi mengekspor produknya ke negara-negara tersebut. Sebab, desain ukir yang digunakan sama dengan produk yang sudah dihasilkan oleh pengrajin negara-negara tadi. Ini akan menjadi sebuah ironi yang menyedihkan ketika para pengukir tradisional justru terancam haknya untuk menggunakan desain tradisional milik mereka sendiri. 
Jika perusahaan atau orang Inggris itu memang berminat memperoleh perlindungan desain, ia seharusnya bukan mendaftarkan katalog dalam rezim hak cipta, melainkan  mendaftarkan dalam rezim desain industri. 
Jika desain itu kemudian diklaim sebagai milik perusahaan asing, maka hal itu merupakan tindakan misappropriation yang sangat transparan yang dilakukan oleh orang asing terhadap warisan budaya bangsa, khususnya.
Pemerintah Kabupaten Jepara melalui Jepara Furniture Design Centre (JFDC) dan Dirjen HAKI bergerak cepat sehingga sebagian besar desain yang dibajak berhasil diselamatkan. Upaya penyelamatan dilakukan dengan cara menelusuri berbagai dokumen dan literatur terkait, mulai dari berkas perjanjian ekspor yang pernah dilakukan di negara yang bersangkutan hingga penelusuran berbagai desain ukir yang dihasilkan pengrajin Jepara.
Agar kasus pembajakan ini tidak terus berulang, maka semua desain ukiran dipatenkan. Ekspor mebel Jepara mengalami pasang surut. Pernah jaya sekitar 1999 dengan nilai ekspor sekitar 200 juta  USD. Setelah itu mengalami penurunan. Pada 2001 nilai ekspor hanya 74 juta USD. Setelah itu pelan-pelan ekspor mebel Jepara terus berbenah. Hasilnya, 2010 nilai ekspor mencapai 117 juta USD. 

















III.      Penutupan
Kesimpulan
Llewellyn dan Hoebel (1941) dan Hoebel (1954) : Kasus-kasus sengketa yang dipilih dan dikaji secara seksama adalah cara yang utama untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat. Data yang diperoleh dari pengkajian terhadap kasus-kasus sengketa sangat meyakinkan dan kaya, karena dari kasus-kasus tersebut dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat “The trouble-cases, sought out and examined with care, are thus the safest main road into the discovery of law. Their data are most certain. Their yield is reachest. They are the most revealing (Llewellyn & Hoebel, 1941:29; Hoebel, 1954:36)”. 
Berdasarkan metode yang digunakan Llewellyn dan Hoebel (1941) dan Hoebel (1954) ,mempelajari antropolgi dari segi kasus atau sengketa,dapat mempermudah kita dalam memahami antropologi.
Sebagai contoh,etika dalam berbsisnis furniture ukir merupakan cara atau tata aturan yang seharusnya dipakai dalam berbisnis agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi pelanggaran dan merugikan pihak broker,buyer maupun perajin tradisonal itu sendiri.
Perajin ukir kayu mikro,seharusnya menggunakan jasa advokad atau penasihat hukum,agar dalam berbisnis tidak tertipu,dan tidak hanya mengandalkan keuntungan seadanya saja serta meninggalkan kebisaan bisnis yang kurang sehat.
Kasus pengakuan HakCipta yang terjadi di Eropa seharusnya menjadi pelajaran bagi para perajin serta pemerintah daerah,agar desai yang dimiliki oleh Jepara tidak diklaim secara tidak hormat oleh para buyer asing.










IV.      Daftar Pustaka
Llewellyn, K.N. and E.A. Hoebel, The Cheyenne Way, Conflict and Case  Law in Primitive Jurisprudence, University of Oklahoma Press, 1941.


About Author

Advertisement

Post a Comment

 
Top